PERHITUNGAN awal tahun hijriah ditandai oleh peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam. Biasanya tahun baru diperingati dengan kemeriahan. Lalu, bagaimana dengan peringatan tahun baru hijriah?
Tahun baru hijriyah yang jatuh tepat pada 1 Muharram, seringkali salah dimaknai dengan perayaan tertentu yang sama seklai tak ada tuntunannya dalam Islam. Padahal, sebagai muslim, semua amalan haruslah merujuk pada syariat yang telah diajarkan Rasulullah shalallahu alaihi wa salam melalui sunnah-nya.
para ulama Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat, “Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tafsir surat Al Ahqof: 11, 7/278-279, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H)
Nyatanya, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan atau diajrkan Rasulullah shalallahu alaihi wa salam untuk menyambut tahun baru hijriyah, sehingga ada beberapa amalan atau tradisi yang bisa dianggap keliru dalam menyambut atau merayakan tahun baru hijriah di kalangan masyarakat pada masa sekarang.
Apa saja amalan tersebut dan dimana letak kekeliruannya? Berikut ini ulasan singkatnya:
Do’a awal dan akhir tahun
Amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar lainnya. Amalan ini juga tidak kita temui pada kitab-kitab hadits atau musnad. Fadhilah atau keutamaan do’a ini sebenarnya tidak berasal dari wahyu sama sekali. (Qiblati edisi 4/III)
Puasa awal dan akhir tahun
Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah dan awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun. Dalil yang digunakan adalah dalil berikut:
“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.”
Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits. (dorar.net)
Kesimpulannya, hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun adalah hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan dalil atau pedoman untuk melakukan suatu amalan.
Memeriahkan Tahun Baru Hijriyah
Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan dzikir jama’i, mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, menyalakan lilin, atau membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama sesudahnya.
Sekalipun alasan memeriahkannya adalah untuk menandingi kemeriahna tahun baru masehi, ini tetap tak dibenarkan karena perbuatan semacam ini dianggap menyerupai mereka (orang kafir). Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)
Jadi, tak perlu ada pengkhususan amalan tertentu di tahun baru hijriah yang ditujukan untuk memperingatinya. Sebaliknya, muslim justru diajarkan untuk melakukan muhasabah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku tidaklah mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap darinya. Adapun aku tinggal di dunia tidak lain seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya memiliki beberapa hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.” (Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi)
Maka, bertambahnya waktu, seiring pergantian tahun, seyogyanya mengingatkan manusia pada waktunya yang kian sempit di dunia. Adapun, amalan-amalan yang dilakukan seharusnya istiqomah dijalankan sepanjang waktu, bukan dikhususkan pada suatu perayaan tertentu saja. []
SUMBER: RUMAYSHO