DI setiap akhir bulan Sya’ban, penentuan 1 Ramadhan ditetapkan oleh pemerintah (kemenag). Demikian juga dalam penetapan 1 Syawal. Dalam hal ini ada dua metode penetapan yang lazim digunakan, yaitu rukyatul hilal dan metode hisab.
Tak jarang di beberapa wilayah yang berbeda, 1 Ramadhan maupun 1 Syawal jatuh pada hari yang berbeda pula. Mengapa? Salah satu alasannya adalah metode yang digunakan dalam menetapkan awal bulan tersebut.
Bagaimana pendapat jumhur ulama tentang kedua metode tersebut?
Metode hisab untuk menentukan awal Ramadhan atau Syawwal sebenarnya merupakan hal yang diperdebatkan oleh fuqaha di masa lalu. Dalam literatur agama Islam tercatat bahwa umumnya para fuqaha menolak keabsahan metode hisab dan lebih menggunakan rukyatul hilal.
Namun pemikiran tentang penggunaan hisab untuk menetapkan hilal Ramadhan dan Syawwal pun dibolehkan. Ada pendapat yang membolehkan, meski pun sebenarnya penisbatannya masih juga menjadi perdebatan.
1. Jumhur ulama yang tidak membolehkan
Kebanyakan pendapat sepanjang zaman mengatakan bahwa tidak sah menggunakan metode hisab untuk menetapkan awal Ramadhan dan Syawwal.
Mazhab Al-Hanafiyah
Pendapat yang muktamad dari mazhab Al-Hanafiyah bahwa syarat wajibnya puasa dan lebaran adalah rukyatul hilal. Dan pendapat muaqqitin diabaikan saja meski punya sifat adil. Dan siapa saja yang mengikuti imam seperti itu maka dia telah menyalahi syariat.
Mazhab Al-Malikiyah
Madzhab Al-Malikiyah dengan tegas menolak penggunaan hisab untuk menetapkan awal Ramadhan dan Syawwal. Di dalam kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir karya Ad-Dardir disebutkan :
tidak sah penentuan awal Ramadhan dengan mengikuti al-munajjim (ahli bintang), maksudnya adalah ahli falak. Apa yang mereka lakukan tidak berlaku, baik untuk diri mereka sendiri, apalagi untuk orang lain (Asy-Syarhu Ash-Shaghir li Ad-Dardir, jilid 1 hal. 241).
Selain itu Al-Malikiyah juga mempersalahkan pemerintah apabila menetapkan awal Ramadhan dan Syawwal dengan menggunakan hisab, serta menyebutkan tidak perlu ikut imam dalam kasus seperti ini.
“Imam yang berpegangan kepada hisab tidak dijadikan pemimpin dan tidak perlu diikuti.”
Mazhab Asy-Syafi’iyah
Ulama kenamaan dari mazhab Asy-Syafi’iyah, Al-Imam An-Nawawi menuliskan masalah ini di dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab (Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab).
“Tidaklah diwajibkan puasa Ramadhan kecuali telah masuk. Dan masuknya diketahui dengan rukyatul-hilal. Apabila terhalang awan wajiblah istikmal bulan sya’ban menjadi 30 hari. Kemudian berpuasalah, sama saja apakah langit terang atau gelap, gelap sedikit atau banyak.”
Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ Fatawanya yang terkenal itu menegaskan bahwa orang-orang yang berpegangan kepada hasil perhitungan (hisab) dalam penetapan hilal, hukumnya sesat di dalam syariah, dan merupakan bid’ah di dalam agama (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, jilid 5 hal. 207).
2. Pendapat Yang Membolehkan
Namun kalau ditelurusi lebih jauh, tentu masih ada sebagian kalangan yang mendukung metode hisab. Di antaranya Mutarrif bin Abdullah Asy-Syikhkhir (w. 87 H) dari kalangan kibarut-tabi’in, Abul Abbas bin Suraij (w. 306 H) dari kalangan Asy-Syafi’iyah, dan Ibu Qutaibah (w. ) dari kalangan muhadditsin.
Ketiga tokoh ini konon dianggap punya pendapat bahwa apabila hilal tidak nampak, digunakan hisab dan bukan dengan cara menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari.
Pendapat hisab ini didasarkan atas penafsiran dari hadis.
“Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka kadarkanlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kata faqduru lahu ditafsirkan oleh kalangan ini sebagai perintah untuk menggunakan hisab. Karena qadar atau ukuran artinya adalah hitungan (Ibnu Rusydi Al-Hafid, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, jilid 2 hal. 46-47).
Namu penisbatan Muhtarrif sebagai tokoh yang membolehkan penggunaan hisab masih jadi perdebatan. Sebab Ibnu Abdil Barr berkata bahwa Muhtarrif tidak berpendapat demikian. Dan dikuatkan lagi oleh Ibnu Rusydi.
Menurut jumhur ulama, makna faqduru lahu bukan perintah untuk menggunakan ilmu hisab, namun maknanya adalah genapkan usia bulan Sya’ban menjadi 30 hari, sebagaimana hadits shahih di atas.
Dari keterangan ini bisa disimpulkan bahwa penggunaan hisab dalam penetapan awal bulan bukan pendapat jumhur ulama, melainkan pendapat sebagian ulama. Metode hisab baru digunakan manakala sistem ru’yah tidak bisa berjalan karena langit tertutup awan. []
SUMBER: RUMAH FIQIH