Oleh: Setyo Dwi Putranto
Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
setyodp27@gmail.com
BULAN Ramadhan, sudah dikenal di Indonesia sebagai bulan puasa oleh kaum muslimin maupun yang non-muslim. Bulan yang suci, bulan yang agung, penuh barokah dan maghfiroh karena Allah telah membuka pintu syurga dan menutup pintu neraka serta membelenggu para setan. Namun sayangnya, Allah hanya membelenggu setan dalam bentuk sebenarnya yakni Iblis atau juga setan dari golongan jin saja, sedangkan setan dari golongan manusia masih bebas berkeliaran melakukan aksi kemungkaran.
Keberadaan setan yang berwujud manusia ini salah satunya ditengarai dengan terbukanya pintu-pintu maksiat dan permainan yang melenakan bagi orang-orang yang berpuasa. Setan tersebut dengan sekuat tenaga menjerumuskan manusia dan menjauhkan manusia dari ibadah kepada Allah. Salah satunya adalah dengan mengajak orang yang berpuasa untuk membatalkan puasanya. Lalu masih perlukah menghormati orang yang tidak berpuasa? Apakah orang yang berpuasa tidak perlu dihormati? Saya rasa pertanyaan itu penting untuk dijawab sebelum mengeluarkan pernyataan, “Hormati Orang yang Tidak Berpuasa”.
Menyoal tentang bagaimana sikap kita terhadap orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan, sudah cukup gamblang dijelaskan dalam surat Al-Baqarah: 184. Bahwasanya ada keringanan untuk orang-orang tertentu yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa sepertihalnya orang yang sakit, bepergian jauh, dan orang-orang yang berat melaksanakannya karena faktor kesehatan ataupun usia. Pun di situ telah dijelaskan bagaimana cara mereka mengganti atau membayar hutang puasa yang mereka tinggalkan karena status puasa yang wajib dikerjakan. Namun yang menjadi soal adalah bilamana orang yang tidak berpuasa tersebut memang secara sengaja meninggalkan puasa tanpa adanya udzur yang menghalangi.
Orang-orang seperti ini terkadang ada yang belum tahu tentang apa itu puasa serta hukum-hukumnya. Akan tetapi tidak sedikit pula yang sudah berilmu, namun dengan kesadaran diri enggan melaksanakan puasa karena malas atau juga karena tidak suka atau meremehkan puasa. Maka hal ini jelas berbeda dengan orang yang tidak mengerjakan puasa karena keterbatasan yang ada pada dirinya sebagaimana yang tersebut di awal.
Golongan yang masih suka meninggalkan puasa karena kekurangtahuan mereka (jahil) maka tugas kita lah untuk memberi pemcerahan kepada mereka. Adapun golongan orang yang meninggalkan puasa padahal mereka telah memiliki pengetahuan tentang puasa, maka mereka inilah yang memiliki potensi untuk menjadi setan di bulan Ramadhan. Mereka mempunyai naluri untuk mengajak orang lain agar bisa menjadi teman bagi mereka dalam membebaskan diri dari perintah puasa.
Kecenderungan mereka yang lain adalah suka merendahkan orang yang berpuasa dan meremehkan puasa dengan kata-kata dan hujjah yang sebenarnya perlu mereka renungi kembali. Sikapnya lunak jika berhadapan dengan kemaksiatan dan tidak sensitif akan kebutuhan lingkungan bagi orang yang berpuasa. Lalu apakah orang yang meninggalakan puasa seperti itu harus dihormati? Saya yakin anda akan menjawab mereka tidak perlu untuk dihormati, kecuali jika anda adalah bagian dari mereka.
Tidak dipungkiri bahwa perintah puasa pada surat Al-Baqarah: 183 adalah untuk orang-orang beriman, bukan untuk orang Islam karena redaksi ayatnya adalah “Yaa ayyuhalladzina aamanuu” bukan “Yaa ayyuhal muslimuun”. Perlu dicatat bahwa derajat orang yang beriman berada satu level di atas orang yang ber-islam. Pada kenyataannya memang tingkat keimanan tiap-tiap orang berbeda-beda. Sebagaimana kita tahu bahwa level tersebut mulai dari muslim, mu’min, muhsin sebelum muttaqin dan muhlisin.
Meskipun perintah puasa itu ditujukan kepada para mu’minun, namun para muslimun juga melakukan puasa sebagai sebuah taklif yang harus dijalankan sebagaimana tercantum dalam rukun Islam yang 5 (syahadat, sholat, zakat, puasa, naik haji), sedangkan orang yang beriman melaksanakan puasa atas dasar tuntutan-tuntutan dari rukun iman yang 6 (Iman kepada Allah, malaikat, kitab suci, para nabi, hari akhir, qada dan qadar) untuk menjadi insan yang bertaqwa. Sehingga pada intinya, puasa merupakan sebuah ujian untuk menuju sebuah level yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Kehormatan bagi orang yang berpuasa bukanlah suatu tuntutan karena sebenarnya Allah telah mengarunikan mereka derajat yang lebih. Namun sudah selayaknya orang yang berpuasa khususnya di bulan Ramadhan lebih dihormati karena usahanya untuk upaya perbaikan, baik secara individual maupun sosial, menjadi orang yang bertaqwa. Puasa tidak hanya sekedar ritual-spiritual-individual, karena dalam puasa Rasulullah telah mengajarkan kita bagaimana rasanya berempati dengan keadaan orang lain. Tidak makannya orang yang berpuasa akan mengingatkan mereka pada saudaranya yang selama ini merasakan kekurangan dan kelaparan. Juga larangan berhubungan badan untuk para suami dan istri, agar mereka ingat bahwa di sekeliling mereka masih ada pemuda-pemudi yang merasakan bagaimana kesedihan dan kesepiannya orang yang belum memiliki pasangan hidup dalam menahan gejolak nafsu syahwat.
Pada bulan Ramadhan yang mulia, tidak hanya puasa yang dikerjakan namun masih banyak amalan yang turut menyertainya. Shalat tarawih dan tilawah al-Quran sebagai sarana mempererat hubungan vertikal kita terhadap sang Khalik (hablumminallah). Sedangkan infaq, sedekah, serta zakat fitrah akan menguatkan hubungan horizontal kita kepada sesama (hablumminannass). Selain “La’alakum tattaquun” pada akhir ayat 183 dari surat al-Baqarah sebagai tanda gelar kehormatan dari Allah bagi orang yang menjalankan puasa, dalam surat al-Baqarah: 184, Allah menutupnya dengan kalimat “Wa antashuumuu khairullakum, inkuntum ta’lamuun” (Dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui).
Wallahu a’lam. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.