JAKARTA—Reza Indragiri, ahli Psikologi Forensik, menilai institusi Polri tidak bisa lepas tanggung jawab, membebankan kesalahan sepenuhnya kepada pelaku salah tembak dan menganggapnya sebagai oknum polisi.
“Betapapun kesalahan yang dilakukan individu, organisasi tidak bisa melepas tangan dengan menyebutnya oknum,” kata Reza, di Jakarta, lansir Antara, Kamis (27/4/2017), merujuk dua kasus salah tembak yang dilakukan anggota polisi di Lubuklinggau, Sumsel dan Bengkulu.
Menurut Reza, dengan melempar kesalahan pada pelaku dan melakukan pembenahan pada tingkat individu anggota polisi saja, itu tidak akan cukup untuk mengantisipasi terjadinya kasus serupa di kemudian hari.
Tetapi, menurut Reza, ada yang harus dibenahi dalam lingkup lebih luas yakni pada tingkat institusi maupun tingkat legislasi.
“Harus ada pertanggungjawaban kepada publik sebagai institusi Polri itu sendiri,” katanya.
Jika ingin mencitrakan Polri sebagai lembaga yang humanis dan menghargai HAM, lanjut Reza, maka harus ada pembenahan di internal Polri terutama di tiga divisi yang menjadi ujung tombak Polri yakni Lembaga Pendidikan Polri (Lemdikpol), SDM dan Humas. Sementara di tataran legislasi, saat ini dalam UU Polri tidak ada pasal yang bersifat humanis.
“Kalau UU Polri sebagai ekspektasi masyarakat, maka bisa disimpulkan rakyat Indonesia terus memberikan tuntutan dan menggantungkan harapan ke personel Polri tapi lupa kalau pangkat itu lepas, seragam ditanggalkan maka sesungguhnya polisi adalah manusia biasa. Sisi humanis Polri terabaikan. Seolah-olah mereka itu manusia super yang harus siap saat menegakkan hukum, melayani masyarakat tapi lupa bahwa ada sisi manusiawi mereka,” katanya.
Selain itu Reza juga mengingatkan perlunya keterlibatan Komisi III DPR dalam proses audit jumlah senjata, peluru milik Polri serta peruntukkannya. “Jumlah senjata, peluru harus dirinci, penggunaannya untuk apa saja, dampaknya apa, digunakan oleh anggota satuan mana. Kalau ternyata penggunaan senpi tidak bisa dipertanggungjawabkan, DPR harus memotong jumlah anggaran polisi,” katanya.
Sebelumnya anggota Sabhara Mapolres Lubuklinggau Brigadir K ditetapkan sebagai tersangka dalam penembakan kendaraan Honda City bernopol BG-1488-ON yang menewaskan dua orang bernama Surini dan Indrayani. Brigadir K mengejar dan menembaki mobil tersebut karena merasa curiga lantaran pengemudi mobil menerobos razia kendaraan bermotor dan berupaya menabrak petugas.
Brigadir K menembak menggunakan senjata SS1 V2 buatan PT Pindad. Tak lama berselang, pada Rabu (26/4) subuh, seorang polisi di Kota Bengkulu, berinisial BS salah menembak dan mengakibatkan anaknya meninggal dunia.
Mulanya, BS keluar dari kamarnya. BS kemudian mendengar suara pintu dan kemudian berinisiatif mengambil senjata dan menembak ke arah korban. Ia tak melihat siapa korbannya karena rumahnya ketika itu keadaannya gelap.
Peluru mengenai ketiak kanan korban yang tak lain adalah anak pelaku, berinisial BA (14 tahun). BA akhirnya meninggal dunia. Sementara ayahnya menyerahkan senjata api miliknya ke Polda Bengkulu dan pergi. []