JAKARTA–Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan RI yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention for the Law of the Sea 1982 (UNCLOS).
Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siradj saat konferensi pers di Gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Senin (6/1/2020). Pasalnya, kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah diratifikasi sejak 1994.
BACA JUGA: Terkait Kapal China Masuk Natuna, DPR: Tidak Perlu Ada Negosiasi
Dengan dasar itu, Kiai Said menilai bahwa tindakan Coast Guard China yang mengawal kapal nelayan berbendera Cina di perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima.
Kiai Said menjelaskan, Cina secara sepihak mengklaim berhak atas Kepulauan Nansha atau Spratly yang masuk dalam nine dash line (sembilan garis putus-putus) pertama kali pada peta 1947.
BACA JUGA: Terkait Kapal Ikan Asing di Natuna, DPR Minta Pemerintah Tingkatkan Keamanan Laut RI
Klaim ini, kata kiai menjangkau area perairan seluas dua juta kilometer persegi di Laut Selatan Cina yang berjarak dua ribu kilometer dari daratan Cina. “Klaim sepihak ini menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Kiai Said menegaskan bahwa Indonesia melalui pemerintahnya harus bersikap tegas dan keras, tidak boleh ada negosiasi. “Kita harus bersikap keras. Tidak boleh kita negosiasi, lembek, tenang-tenang saja. Itu wilayah kita,” cetusnya. []
REPORTER: RHIO