JAKARTA— Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto menanggapi hal terkait maraknya Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan KPK menjelang pilkada serentak 2018.
Arif menilai KPK memberi perhatian lebih intensif terhadap potensi korupsi oleh kepala daerah atau calon kepala daerah. Terlepas dari penindakan KPK, bangsa ini membutuhkan suatu perubahan budaya politik mendasar.
Menurutnya, lemahnya pelembagaan politik, yang ditandai pemusatan kekuasaan di tangan segelintir elite Parpol, memungkinkan transaksi yang begitu mahal untuk membeli rekomendasi pencalonan.
Hal serupa dipicu pula oleh lemahnya perkaderan politik, sehingga Parpol bersedia mengajukan calon non-kader dengan syarat mahar politik tertentu.
Selain itu, buruknya komunikasi politik dengan massa pemilih, membuat sebagian kandidat memilih jalan pintas membeli suara lewat politik uang. Problem komunikasi politik ini pula yang menciptakan jor-joran pemasaran politik berbiaya mahal selama masa kampanye.
Celakanya, tidak satu pun di antara politik biaya mahal itu yang berkontribusi bagi pencerdasan dan pemberdayaan pemilih. Jika para politikus mampu mengubah tatanan politik menjadi lebih diskursif, melalui pertaruangan gagasan sebagai solusi problem-problem sosial, ada peluang bahwa politik transaksional dapat diminimasi dan biaya politik dapat diturunkan.
Selama 2017, delapan kepala daerah ditangkap KPK karena didakwa korupsi, sebagian di antaranya menerima suap untuk mengalang dana kampanye Pilkada 2018. Pada awal 2018, berturut-turut KPK menjerat Bupati Hulu Sungai Tengah Selatan Abdul Latief, Bupati Kebumen M Yahya Fuad, Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan, Bupati Jombang Nyono Suharli, Gubernur Jambi Zumi Zola, Bupati Ngada Marianus Sae, dan terakhir Bupati Subang Imas Aryumningsih.
“Fakta ini menunjukkan bahwa skala korupsi politik tidak menurun meskipun berbagai seruan dan langkah pencegahan maupun penindakan dijalankan,” kata Arif di Jakarta, Kamis (15/2/2018) kemarin. []
SUMBER: BERITASATU