IBNU Al-Qayyim dalam “I’lam Al-Muwaqqi’in” (Juz 2, Hlm. 62, Dar Ibn Al-Jauzi, Saudi Arabia) menyatakan:
وكان السَّلَف من الصحابة والتابعين يكرهون التَّسرُّعَ في الفَتْوَى، ويود كل واحد منهم أن يكفيه إياها غيرُه؛ فإذا رأى أنها قد تعيَّنت عليه بَذَلَ اجتهادَهُ في معرفة حكمها من الكتاب والسنة، أو قول الخلفاء الراشدين ثم أفتى.
Artinya: “Ulama salaf dari kalangan shahabat dan tabi’in, tidak menyukai terlalu cepat dalam berfatwa. Masing-masing dari mereka lebih senang jika ada orang lain yang berfatwa sehingga dia tak perlu berfatwa.
Dan saat dia melihat, bahwa kondisi mewajibkannya untuk berfatwa, dia akan mengerahkan segenap kemampuan intelektualnya dalam berijtihad untuk mengetahui hukum perkara tersebut dari Al-Kitab dan AS-Sunnah, atau dari pendapat al-khulafa ar-rasyidin, setelah itu baru dia berfatwa.”
Ibnu Al-Qayyim juga meriwayatkan pernyataan dari ‘Abdurrahman bin Abi Laila (Hlm. 62-63), bahwa beliau bertemu dengan 120 orang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam satu riwayat: dari kalangan Anshar), dan masing-masing dari mereka lebih senang jika ada shahabat lain yang meriwayatkan Hadits sehingga dia tidak perlu meriwayatkannya, dan ada shahabat lain yang berfatwa sehingga dia tidak perlu berfatwa. Riwayat ini beliau ambil dari ‘Abdullah bin Al-Mubarak dan Ahmad bin Hanbal.
BACA JUGA: Jika Ulama Kontemporer Menyelisihi Fatwa Jumhur Ulama
Beliau juga meriwayatkan pernyataan shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas dan ‘Abdullah bin Mas’ud, melalui Malik bin Anas, bahwa orang yang senantiasa berfatwa pada setiap persoalan yang ditanyakan kepadanya, adalah orang gila (Hlm. 63-64).
Di kesempatan lain, Ibnu Al-Qayyim mengutip pernyataan Al-Qasim bin Muhammad, “Seseorang yang hidup dalam keadaan jahil, selama dia mengetahui hal-hal yang diwajibkan Allah atasnya, itu lebih baik dari pada orang yang berani berbicara tentang Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.” (Juz 3, Hlm. 443).
Beliau juga menyatakan (Juz 2, Hlm. 64) bahwa orang yang cepat dan berani dalam berfatwa ada dua kemungkinan, pertama, orang yang sedikit ilmunya, dan karena itu dia tergesa-gesa berfatwa tanpa ilmu, dan kedua, orang yang sangat luas ilmunya.
Contoh untuk yang kedua adalah Ibnu ‘Abbas, yang dikenal sebagai salah satu shahabat yang paling berfatwa. Sedangkan yang pertama, ini adalah keadaan banyak orang, sebagaimana dikatakan oleh Sahnun bin Sa’id, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Al-Qayyim, “Orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling sedikit ilmunya, seseorang hanya mengetahui satu bab ilmu, namun dia mengira kebenaran seluruhnya ada pada satu bab tersebut.” (Hlm. 64).
Terlalu Cepat Sampaikan Fatwa Tanda Sedikitnya Ilmu
Catatan:
1. Sebagian orang mengira, penceramah atau ustadz yang paling cepat dalam menjawab pertanyaan dan paling meyakinkan saat bicara, adalah ustadz yang paling berilmu. Padahal, sering kali faktanya tidak seperti itu.
BACA JUGA: Apa Hukum Nyanyian Perempuan? Ini Fatwa Syekh Yusuf Al Qaradhawi
Yang sering terjadi, sang ustadz hanya tahu satu sisi dari persoalan yang ditanyakan, dan karena dia hanya tahu sisi tersebut, dia pikir itulah kebenaran hakiki “laa rayba fiih”, yang membuatnya begitu cepat menjawab dan begitu yakin dalam berucap. Yang seandainya dia tahu sedikit sisi-sisi lain dari persoalan tersebut, dia akan lebih banyak menahan diri.
2. Tergesa-gesa dalam berfatwa, menunjukkan sedikitnya ilmu orang tersebut. Dan jika faktanya, dia tidak paham sama sekali bahasan ushul fiqih dan berbagai ilmu lainnya yang diperlukan dalam penelitian hukum, maka itu menunjukkan dia jahil murakkab, orang bodoh yang sok tahu. Orang seperti ini sangat berbahaya, dan jika tidak mempan dinasihati, dia layak kita jauhi.
Wallahu a’lam. []
Oleh: Muhammad Abduh Negara