TIDAK ada yang membuat jiwa dan wajah menjadi demikian muram selain keputusasaan. Maka, jika kita menginginkan senyuman, tersenyumlah terlebih dahulu dan perangilah keputusasaan. Percayalah, kesempatan itu selalu terbuka, kesuksesan selalu membuka pintunya untuk Kita dan untuk siapa saja. Karena itu, biasakan pikiran kita agar selalu menatap harapan dan kebaikan di masa yang akan datang.
Jika kita meyakini diri kita diciptakan hanya untuk meraih hal-hal yang kecil, maka kita pun hanya akan mendapatkan yang kecil-kecil saja dalam hidup ini. Tapi sebaliknya, bila kita yakin bahwa diri kita diciptakan untuk menggapai hal-hal yang besar, niscaya kita akan memiliki semangat dan tekad yang besar yang akan mampu menghancurkan semua aral dan hambatan. Dengan semangat itu pula kita akan dapat menembus setiap tembok penghalang dan memasuki lapangan kehidupan yang sangat luas untuk suatu tujuan yang mulia. Ini dapat kita saksikan dalam banyak kenyataan hidup.
BACA JUGA: Tersenyum atau Tertawa ketika Shalat, Bagaimana Hukumnya?
Barangsiapa ikut lomba lari seratus meter misalnya, ia akan merasa capek tatkala telah menyelesaikannya. Lain halnya dengan seorang peserta lomba lari empat ratus meter, ia belum merasa capek tatkala sudah menempuh jarak seratus atau dua ratus meter. Begitulah adanya, jiwa hanya akan memberikan kadar semangat sesuai dengan kadar atau tingkatan sesuatu yang akan dicapai seseorang. Maka, pikirkan setiap tujuan kita. Dan jangan lupa, hendaklah tujuan kita itu selalu yang tinggi dan sulit dicapai. Jangan pernah putus asa selama masih dapat mengayunkan kaki untuk menempuh langkah baru setiap harinya. Sebab, rasa putus asa, patah semangat, selalu berpkitangan negatif terhadap segala sesuatu, suka mencari-cari aib dan kesalahan orang lain, dan besar mulut hanya akan menghambat langkah, menciptakan kemuraman; dan menempatkan jiwa di dalam sebuah penjara yang pengap.
Penerimaan seseorang terhadap suatu hal tidaklah sama dengan penerimaanya terhadap seorang pendidik yang telah berjasa mengembangkan dan mengarahkan bakat alamiahnya, meluaskan cakrawala pemikirannya, menanamkan kebiasaan ramah dan murah hati dalam dirinya, mengajarkan kepadanya bahwa sebaik-baik tujuan hidup adalah berusaha menjadi sumber kebaikan bagi masyarakatnya sesuai dengan kemampuannya, mengarahkannya agar senantiasa menjadi matahari yang memancarkan cahaya, kasih sayang dan kebaikan, dan yang telah menuntunnya agar memiliki hati yang penuh dengan empati, kasih sayang, rasa perikemanusiaan, serta merasa senang berbuat baik kepada siapa saja yang berhubungan dengannya.
Setiap kali melihat kesulitan, jiwa seseorang yang murah senyum justru akan menikmati kesulitan itu dengan memacu diri untuk mengalahkannya. Begitu ia memperlakukan suatu kesulitan; melihatnya lalu tersenyum, menyiasatinya lalu tersenyum, dan berusaha mengalahkannya lalu tersenyum.
Berbeda dengan jiwa manusia yang selalu risau. Setiap kali menjumpai kesulitan, ia ingin segera meninggalkannya dan melihatnya sebagai sesuatu yang amat sangat besar dan memberatkan dirinya. Dan itulah yang acapkali menyebabkan semangat seseorang menurun dan asanya berkurang. Bahkan, tak jarang orang seperti ini berdalih dengan kata-kata “Seandainya …,” “Kalau saja …,” dan “Seharusnya ….” Orang seperti ini sangatlah nista. Bukan zaman yang mengutuknya, tapi dirinya dan pendidikan yang telah membesarkannya. Bagaimana tidak, ia menginginkan keberhasilan dalam menjalani kehidupan ini, tapi tanpa mau membayar ongkosnya. Orang seperti ini ibarat seseorang yang hendak berjalan tetapi selalu dibayangi oleh seekor singa yang siap menerkam dirinya dari belakang. Akibatnya, ia hanya menunggu langit menurunkan emasnya atau bumi mengeluarkan kandungan harta karunnya.
Kesulitan-kesulitan dalam kehidupan ini merupakan perkara yang nisbi. Yakni, segala sesuatu akan terasa sulit bagi jiwa yang kerdil, tapi bagi jiwa yang besar tidak ada istilah kesulitan besar. Jiwa yang besar akan semakin besar karena mampu mengatasi kesulitan-kesulitan itu. Sementara jiwa yang kecil akan semakin sakit, karena selalu menghindar dari kesulitan itu. Kesulitan itu ibarat anjing yang siap menggigit; ia akan menggonggong dan mengejar kita bila kita tampak ketakutan saat melihatnya. Sebaliknya, ia akan membiarkan kita berlalu di hadapannya dengan tenang bila kita tak menghiraukannya, atau kita berani memelototinya.
BACA JUGA: Apakah Tersenyum Membatalkan Shalat?
Penyakit yang paling mematikan jiwa adalah rasa rendah diri. Penyakit ini dapat menghilangkan rasa percaya diri dan keyakinan seseorang terhadap kemampuannya sendiri. Maka dari itu, meski berani melakukan suatu pekerjaan, ia tak akan pernah yakin dengan kemampuan dan keberhasilan dirinya. Ia juga melakukannya dengan tanpa perhitungan yang matang, dan akhirnya gagal. Percaya diri adalah sebuah karunia yang sangat besar. Ia merupakan tiang penyangga keberhasilan dalam kehidupan ini. Adalah sangat berbeda antara “percaya diri” dengan “terlalu percaya diri”.
Terlalu percaya diri merupakan perilaku negatif yang senantiasa membuat jiwa bergantung pada khayalan dan kesombongan semu. Sedangkan percaya diri merupakan hal positif yang akan mendorong setiap jiwa untuk bergantung pada kemampuannya sendiri dalam memikul suatu tanggung jawab. Dan karena itu, ia akan terdorong untuk senantiasai mengembangkan kemampuannya dan mempersiapkan diri dengan matang dalam menghadapi segala sesuatu.
Elia Abu Madhi berkata:
Orang berkata, “Langit selalu berduka dan mendung.”
Tapi aku berkata, “Tersenyumlah, cukuplah duka cita di langit sana.”
Orang berkata, “Masa muda telah berlalu dariku.”
Tapi aku berkata, “Tersenyumlah, bersedih menyesali masa muda tak kan pernah mengembalikannya”
Orang berkata, “Langitku yang ada di dalam jiwa telah membuatku merana dan berduka.
Janji-janji telah mengkhianatiku ketika kalbu telah menguasainya.
Bagaimana mungkin jiwaku sangggup mengembangkan senyum manisnya
Maka akupun berkata,”Tersenyum dan berdendanglah, kala kau membandingkan semua umurmu kan habis untuk merasakan sakitnya.
Orang berkata, “Perdagangan selalu penuh intrik dan penipuan, ia laksana musafir yang akan mati karena terserang rasa haus.”
Tapi aku berkata, “Tetaplah tersenyum, karena engkau akan mendapatkan penangkal dahagamu.
Cukuplah engkau tersenyum, karena mungkin hausmu akan sembuh dengan sendirinya.
Maka mengapa kau harus bersedih dengan dosa dan kesusahan orang lain, apalagi sampai engkau seolah-olah yang melakukan dosa dan kesalahan itu?
Orang berkata, “Sekian hari raya telah tampak tkita-tkitanya seakan memerintahkanku membeli pakaian dan boneka-boneka.
Sedangkan aku punya kewajiban bagi teman-teman dan saudara, namun telapak tanganku tak memegang walau hanya satu dirham adanya
Ku katakan: Tersenyumlah, cukuplah bagi dirimu karena Kita masih hidup, dan engkau tidak kehilangan saudara-saudara dan kerabatyang kau cintai.
BACA JUGA: Hadis Ini Membuat Nabi Muhammad SAW Tersenyum
Orang berkata, ” Malam memberiku minuman ‘alqamah tersenyumlah, walaupun kau makan buah ‘alqamah Mungkin saja orang lain yang melihatmu berdendang akan membuang semua kesedihan. Berdendanglah
Apa kau kira dengan cemberut akan memperoleh dirham atau kau merugi karena menampakkan wajah berseri?
Saudaraku, tak membahayakan bibirmu jika engkau mencium juga tak membahayakan jika wajahmu tampak indah berseri
Tertawalah, sebab meteor-meteor langitjuga tertawa mendung tertawa, karenanya kami mencintai bintang-bintang
Orang berkata, “Wajah berseri tidak membuat dunia bahagia yang datang ke dunia dan pergi dengan gumpalan amarah.
Ku katakan, “Tersenyumlah, selama antara kau dan kematian ada jarak sejengkal, setelah itu engkau tidak akan pernah tersenyum.”
Sungguh, kita sangat butuh pada senyuman, wajah yang selalu berseri, hati yang lapang, akhlak yang menawan, jiwa yang lembut, dan pembawaan yang tidak kasar.
“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian berendah hati, hingga tidak ada salah seorang di antaramu yang berlaku jahat pada yang lain dan tidak ada salah seorang di antaramu yang membanggakan diri atas yang lain.” (Al-Hadits) []
Referensi: La Tahzan/ Karya: DR. Aidh Al-Qarni/Penerbit: Qisthi Press