AKU menarik resleting jaket hingga ke leher. Nafaskupun hingga berasap. Aku menggigil. Kaki gunung burangrang sudah dipeluk kabut yang membatasi jarak pandangku. Aku benar-benar tersesat. Kurogoh handphone di saku jeans. Sial! Sejak tadi belum mendapatkan sinyal.
Aku mulai gelisah. Tapi tak hendak menghentikan langkah. Hingga tiba di sebuah curug, aku mulai kelelahan. Jatuh terduduk. Kaki dan tanganku keram. Jam di pergelangan kiriku menyentuh angka sembilan. Masih siang, namun di dalam hutan yang begini rimbun, seperti lewat tengah malam.
Aku hendak berdiri, mencari pos dimana kami sedang mencari jejak. Ya, sepertinya aku tersesat. Kalau tidak, aku pasti sudah menemukan pos itu, setidaknya aku akan bertemu dengan orang sebelum aku atau sesudah aku yang dilepas dari pos sebelumnya setiap selang limabelas menit.
Aku tersungkur, kakiku benar-benar tak bisa digerakkan. Kurogoh tas ransel, mencari sesuatu yang mungkin bisa menghangatkan kaki. Nihil. Aku memang orang yang tak pernah mau ribet dengan barang bawaan. Di ransel kecilku hanya ada senter, sebungkus makanan ringan dan sebotol air mineral.
Tak ada barang lain, apalagi lipstik atau bedak seperti teman-teman perempuan seusiaku. Aku nyaris tak kenal barang-barang seperti itu. Dina namaku, teman-teman memanggilku Dani karena menurut mereka itu nama yang cocok untuk sosok perempuan kekar, dengan rambut pendek di atas bahu dan adat kepala batu. Aku memang kukuh dengan prinsipku, bukankah setiap orang memang harus punya prinsip? Aku memang kukuh, tak mudah dibujuk atau dilarang-larang, termasuk ketika Rif’at, kakak kelasku melarangku ikut kegiatan ini.
Menurutnya, tak pantas seorang perempuan panjat tebing, mencari jejak, keluar-masuk hutan. Perempuan itu seharusnya lihai memasak, bisa menjahit, dan pandai bersolek. Puih, sama sekali bukan aku! Persetan dengan kata-kata Rif’at, lagipula apa haknya melarangku? Aku adalah pribadi merdeka, sebebas orangtuaku meninggalkan rumah hingga lupa waktu. Sebebas kakak lelakiku keluar-masuk rumah tak kenal siang-malam, sebebas si bibi yang tumpang kaki di sofa sambil menonton TV dengan keler cemilan di pangkuannya, sebebas itu pulalah aku!
Ah, sial! Gerimis turun dari sela dedaunan. Aku kian menggigil. Sendiri. Mulai kudengar gesekan daun seperti bercanda menikmati bulir hujan. Aku terperangah. Suara-suara hewan terdengar merdu. Ya, suara-suara itu seperti tengah berdzikir. Kupandangi sekelilingku. Pohon-pohon yang tinggi menjulang ke langit kelam.
Ya Allah, aku begini kecil. Hey, dengar! Suara air hujan yang jatuh ke tanah juga seperti berdzikir. Gesekan dedaunan itupun berdzikir. Subhanalloh, ujar bulir-bulir air yang jatuh. Alhamdulillah, lirih dedaunan mendesah. Laaillaha ilalloh, suara-suara binatang di kejauhan. Allohu Akbar, gemuruh air terjun menimpali.
Aku semakin menggigil. Tidak, bukan menggigil kedinginan. Aku merasa nista. Betapa selama ini aku tak pernah membasahi bibirku dengan memuja-mujiNya. Tuhan, akulah lautan dosa. Aku malu masih berpijak di tanahMu. Raga ini tak selayaknya dipayungi langitMu, rongga dadaku tak semestinya masih dipenuhi udaraMu. Namun pada siapa lagi aku bergantung? Tak kudapati lelap di balik badcover tebal, di kamar ber-AC.
Ya Allah, ampuni aku yang selama ini hanya memajang Al Qur’an dalam bufet. Mukenaku masih terlipat rapih dalam lemari. Sajadahku lebaran kemarin terakhir kubentangkan. Ya Allah, ampuni aku. Izinkan aku bernaung di bawah lautan cinta kasihMu. []