Oleh: Puji Astutik, menerjemahkankehidupan@gmail.com
Badan Intelejen Negara (BIN) mengeluarkan keterangan bahwa 41 masjid dilingkungan pemerintah wilayah Jakarta terpapar paham radikalisme. BIN mengategorisasikan masjid terpapar paham radikal dalam tiga level. Tujuh masjid terpapar paham radikal pada level rendah, 17 masjid pada level sedang dan 17 level tinggi. Jubir BIN Wawan Hari Purwanto menyebut masjid dilevel tinggi menjadi sorotan karena memiliki kriteria yang sangat jelas menyimpang dari falsafah dan norma-norma NKRI. Artinya para penceramah di masjid ini mendorong ke arah yang lebih simpati pada ISIS. (www.idntimes.com,21/11/2018)
Kriteria atau indikator seorang penceramah terindikasi radikal penting diungkap lebih jelas oleh BIN. Sehingga tidak dikwatirkan adanya persepsi yang keliru atas ajaran Islam. Apakah kemudian penceramah yang berjenggot itu masuk ciri penceramah radikal? Apakah penceramah yang memberikan kutbah dengan memakai surban dan jubah adalah ciri radikal? Apakah pula penceramah yang menjelaskan ekonomi Islam, politik Islam, pergaulan Islam, pemerintahan Islam disebut radikal?
BIN telah menyebut penceramah pada masjid yang berada di level tinggi mendorong ke arah yang lebih simpati pada ISIS. Indikator simpati pada ISIS ini apa saja? Padahal ulama ahlu sunnah wal jamaah sudah sepakat bahwa ISIS secara aqidah bertentangan dengan Islam. Sehingga ketika para penceramah itu disebut oleh BIN mengajak simpati pada ISIS sama artinya para penceramah itu keluar dari ajaran ahlu sunnah wal jamaah.
Atau ada pemahaman yang belum sempurna terkait apa saja ajaran Islam itu? Islam sebagai agama yang legal di Indonesia tentunya seluruh ajaran Islam legal diamalkan oleh rakyat Indonesia. Ataukah ada ketidaksukaan jika umat Islam semakin sadar akan kewajibannya kepada Allah SWT dan RasulNya?
Sungguh, dimunculkannya kembali isu radikalisme penceramah di masjid di lingkungan pemerintah memancing kekhawatiran rakyat. Berita dari BIN ini bisa menghentikan niat dan semangat umat Islam untuk lebih dekat dengan Islam. Padahal, gelombang keinginan untuk hijrah dikalangan milenial baru memasuki fase awal hijrah. Demikian pula kesadaran politik Islam umat baru mulai tumbuh.
Memilihara jenggot adalah bagian dari kecintaan umat Islam pada sunnah Nabinya, demikian pula memakai surban dan jubah. Yang pakai rok mini, Jeans ketat, atasan yang menggumbar dada, bukankah ini yang lebih layak disebut radikal? Pakaian-pakaian begini memicu syahwat yang bisa mengarah pada kriminalitas.
Adapun ajaran Islam, mencakup seluruh apa yang ada dalam Alquran dan Alhadist. Mulai aqidah, akhlaq, syariah yang meliputi seluruh sistem kehidupan dari politik, ekonomi, pergaulan, pemerintahan, sosial semuanya ada dalam Islam. Lantas haruskah sebagian ajaran Islam disampaikan dan sebagiannya di sembunyikan? Hanya karena kuatir dicap oleh Amerika dan pengusung ideologi kapitalisme sebagai penganut radikal? Sungguh, yang demikian tidaklah benar. Kenapa rasa takut tidak kita jatuhkan kepada Allah SWT semata? Padahal Dialah yang memberikan nafas sehingga bisa mengenyam hidup di dunia ini.
Jadi, umat Islam tidak boleh terpengaruh dengan isu-isu radikalisme. Isu radikalisme yang sebenarnya bermaksud mendeskritkan Islam dan ajaran Islam. Teruslah belajar Islam dan amalkan sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah SAW. Sungguh, Islam bukanlah agama radikal. Islam agama rahmatan lil’alamin. Dan agama ini akan tegak dan kebangkitan Islam sebuah keciscayaan. Sebagaimana roda yang berputar maka perputaran waktu akan berada pada kemenangan umat Islam.
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai” (QS. At Taubah; 32). Wallahua’lam. []