Oleh: Mawar Dani – Pegiat tulis berdomisili di Asahan
AKU mendapati Ibu dengan wajah cemberut sepulang kerja tadi. Aku yang masih lelah dengan urusan pekerjaan hanya tersenyum melihat ekspresi wajah Ibu. Seperti biasa, selepas pulang kerja aku hanya menghabiskan waktu di kamar.
Hingga malam aku masih mendapati Ibu dengan wajah murung. Setiap tanya yang aku ajukan tak mendapat jawaban yang pas.
Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dengan tetap tenang atas sikap itu.
“Ibu sebenarnya kenapa? Tadi pagi kita masih baik-baik saja. Apa Hana punya salah?”
“Kamu ini normal gak sih?”
“Loh Ibu kok bertanya gitu? Seperti tidak mengenal anak sendiri,” jawabku heran sekaligus geli.
Ibu masih saja ketus dan cuek. Aku yakin terjadi sesuatu yang menyinggung perasaan Ibu.
“Hana mau Ibu cerita jujur, ada apa sebenarnya?”
“Percuma, wong kamu juga gak punya pacar.”
Hhhh. Aku tidak habis pikir tentang kegalauan yang melanda Ibu. Ini pasti ulah tetangga usil itu, batinku.
“Kenapa lagi dengan tetangga usil itu, Bu?”
Sepertinya Ibu mulai luluh karena aku sudah mampu membaca kegelisahannya. Kini Ibu menatap penuh pengharapan.
“Tadi pagi Bu Darti kembali nanyain kamu. Berangkat kerja kok gak ada yang antar, malam minggu kok gak ada yang ngapelin, terus kenapa sampai sekarang belum nikah. Ibu malu. Ingat Han, umurmu sudah pantas untuk menikah.”
Astagfirullah. Aku istighfar berkali-kali. Selalu saja masalah nikah yang menjadi persoalan, anehnya kenapa mesti tetangga yang harus repot dengan kesendirian ini.
“Lalu Ibu jawab apa?” tanyaku ingin tahu.
“Ibu senyum aja, bingung mau jawab apa.”
Sebenarnya aku malas membicarakan soal ini lagi. Aku yang bakal repot karena terkadang jika waktu yang tidak tepat menjadi pemicu kesalahpahaman antara aku dengan Ibu. Lain sisi, aku pun merasa kasihan dengan Ibu yang kerap mendapatkan tingkah usil tetangga yang sangat perhatian dengan masalah pribadiku.
“Bu, Hana bukannya gak normal atau gak mau nikah, cuma waktunya saja yang belum tepat. Soal jodoh jangan risaukan, sebab Allah punya Kun-Nya yang siapa pun tak bisa menghalangi.”
“Terus Ibu harus diam terus jika ada yang bertanya lagi?”
Dalam hati aku bersyukur, hati Ibu lembut kembali mendengar penjelasan sederhana tadi.
“Begini Bu, jika kita selalu mendengar omongan orang, masalah itu gak ada habisnya. Kita yang tamat sekolah mereka yang repot nanya kuliah di mana. Kuliah selesai tapi belum dapat kerja, mereka juga yang risau lalu usil dengan pernyataan sekolah tinggi tapi kok nganggur. Udah dapat kerja juga masih tetap aja ada bahan mereka untuk usil. Jadi gak akan ada habisnya jika kita terus mendengar omongan mereka.”
“Ibu ya memang ingin kamu segera nikah, Han.”
“Ibu doakan Hana yang terbaik. Bisa jadi saat ini adalah yang terbaik buat kita. Hana punya waktu yang banyak untuk Ibu, masih bebas berbagi apapun buat Ibu tanpa harus izin atau segan dengan pihak lain. Kita mikirnya ke sana aja , Bu. Capek jika terus mendengar omongan orang. Yang penting Ibu tidak putus mendoakan Hana.”
“Maafkan Ibu yo, Nduk. Kadang merasa risih dengan mereka lalu membuat kamu tersinggung,” ujar ibu lirih.
“Gak apa- apa, Bu. Allah tahu yang terbaik buat kita. Doakan Hana terus.”
Kurebahkan kepala di pangkuan hangatnya. Aku lupa kapan terakhir melakukan itu padanya karena tersita kesibukan yang menggunung. []