KEPALA Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza mengungkap asal mula dirinya mengusulkan adanya mekanisme kontrol rumah ibadah. Dia mengatakan awalnya ada mendengar informasi perihal rumah ibadah milik Pertamina yang menyiarkan ceramah berisi olokan terhadap pemimpin dan pemerintah.
“Begini, itu kan diawali dengan pertanyaan ada satu rumah ibadah milik BUMN Pertamina, pelat merah nih, yang di dalamnya isi ceramahnya itu mengolok-olok menyebarkan kebencian kepada seseorang kepada pemimpin, pemerintah, menyebarkan rasa mengajarkan kekerasan seperti itu,” kata Rycko kepada wartawan di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (8/9/2023).
Dia lalu menyikapi informasi tersebut dengan membandingkan kegiatan ceramah keagamaan di negara-negara lain yang pernah dia datangi. Rycko menuturkan proses mendirikan rumah ibadah hingga isi ceramah diawasi ketat di negara lain.
BACA JUGA:Â Ramai Kritik BNPT soal Usulan Kontrol Semua Tempat Ibadah
“Saya bilang kalau negara-negara lain yang saya datangin, masjid-masjid pemerintah itu di bawah kontrol habis. Mulai mendirikannya, jadwal jamnya, penceramahnya, kontennya dikontrol habis,” ucap Rycko.
Rycko menilai upaya pengawasan ini efektif dalam mempersempit penyebaran radikalisme. “Dan mereka mampu mempersempit ruang gerak daripada penyebaran paham radikal,” imbuh dia.
Rycko lalu menjelaskan jika hal tersebut diterapkan di Indonesia, maka harus disesuaikan dengan situasi dalam negeri. Di Indonesia, tambah dia, rumah ibadah seperti masjid dibangun oleh banyak pihak, tak hanya pemerintah.
Oleh sebab itu, Rycko menyampaikan tak bisa hanya pemerintah saja mengontrol rumah ibadah, namun perlu adanya keterlibatan seluruh elemen bangsa. Rycko menyadari BNPT pun tak mampu mengontrol seluruh rumah ibadah di Indonesia.
“Indonesia tidak semuanya milik pemerintah. Ada masjid yang dibangun oleh pribadi, oleh kelompok masyarakat. Bangun pesantren, dalamnya bangun masjid. Seandainya pemerintah dikasih kewenangan pun oleh UU untuk mengontrol, kemampuannya nggak ada, apalagi cuma BNPT yang cuma seupil jumlahnya, nggak cukup,” ungkap Rycko.
“Nah oleh karena itu saya menawarkan, kita perlu memikirkan kata-kata ini, kita perlu memikirkan suatu mekanisme kontrol terhadap tempat ibadah, utamanya masjid yang digunakan untuk penyebaran paham radikal. Di mana simbol-simbol atribut agama Islam dengan jumlah keagamannya itu dimanfaatkan untuk menyebarkan rasa kebencian atas nama demokrasi,” jelas mantan Kepala Lemdiklat Polri ini.
Masih kata Rycko, mekanisme pengawasan atau kontrol rumah ibadah harus juga melibatkan pendiri rumah ibadah hingga lembaga atau organisasi yang menaungi rumah ibadah. Bahkan, imbuh Rycko, tokoh masyarakat sekitar rumah ibadah juga melakukan pengawasan.
“Mekanisme kontrol yang saya maksud adalah mulai dari pendirinya yang mendirikan mesjid, pengurusnya, DKM-nya, harus mengontrol ini. Kalau ada penceramah yang mulai menyebarkan kebencian, catat (namanya-red), coret (dari daftar penceramah di tempat ibadahnya-red),” ujar Rycko.
“Saya bicara sama MUI, ternyata mereka sudah mengerjakan ini. Namanya ngontrol semua, semua pihak harus bertanggung jawab. Pendirinya pengurus masjidnya, DKM-nya, kemudian MUI-nya, kemudian tokoh masyarakatnya tokoh agamanya, ketua-ketua lingkungan yang ada di situ, pemerintah diwakili oleh FKUB, FKUB di dalamnya ada pemerintah ada Forkopimda, ada TNI, ada Polri ada Kementerian Agama,” papar Rycko.
Jika tak ada kontrol terhadap isi ceramah di rumah ibadah, Rycko khawatir ceramah agama disusupi oleh doktrin yang berlawanan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Dia menekankan lagi, usulnya semata untuk mempersempit penyebaran paham radikal.
“Mekanismenya harus dilembagakan, kenapa dilembagakan? Untuk mempersempit ruang gerak, mempersempit ruang gerak penyebaran ideologi yang menggunakan atribut simbol-simbol agama dan tempat ibadah. Kalau nggak ya, kalau nggak, datang anak rajin ke masjid, pulang mengkafirkan bapaknya sama ibunya,” tutur Rycko.
Sebelumnya, Rycko pun sebenarnya sudah menjelaskan maksud usulannya. Rycko memberikan pandangan utuh terkait mekanisme kontrol rumah ibadah.
“Terhadap penggunaan tempat-tempat ibadah untuk menyebarkan rasa kebencian, kekerasan, mekanisme kontrol itu artinya bukan pemerintah yang mengontrol. Mekanisme kontrol itu bisa tumbuh dari pemerintah beserta masyarakat,” kata Rycko dalam keterangan tertulis seperti dilansir Antara, Rabu (6/9).
Rycko menyebut mekanisme kontrol itu tidak mengharuskan pemerintah mengambil kendali langsung. Menurutnya, mekanisme itu dapat tumbuh dari pemerintah dan masyarakat.
Dia juga menjelaskan pengurus rumah ibadah dan tokoh agama setempat bisa berperan dengan melaporkan aktivitas atau ajaran apapun yang berpotensi radikal. Rycko juga mengatakan pemerintah tidak akan sanggup mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia.
“Dari tokoh-tokoh agama setempat atau masyarakat yang mengetahui ada tempat-tempat ibadah digunakan untuk menyebarkan rasa kebencian, menyebarkan kekerasan, itu harus disetop,” ucapnya.
Rycko mengatakan mereka yang terindikasi menebar gagasan kekerasan dan antimoderasi beragama, bisa dipanggil, diedukasi, diberi pemahaman, ditegur serta diperingatkan oleh aparat setempat. Apabila terjadi perlawanan atau mengulangi hal yang sama, tegas Kepala BNPT, maka masyarakat dapat menindaklanjuti hal itu dengan menghubungi aparat setempat.
“Kalau pemerintah yang mengontrol tak akan sanggup,” ujarnya.
Dia mengatakan BNPT telah melakukan studi banding ke beberapa negara, seperti Singapura, Malaysia, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Maroko yang menerapkan kendali langsung oleh pemerintah terhadap tempat ibadah. Namun, Rycko menyadari situasi di Indonesia berbeda.
Dia mengatakan usulan mekanisme kontrol itu bersifat kolaboratif antara masyarakat setempat dengan melibatkan tokoh agama, adat, dan budaya sebagai alternatif yang lebih cocok untuk konteks Indonesia.
Ide ini juga disampaikan Rycko dalam rapat dengan Komisi III DPR, Senin (4/9). Dia menanggapi pernyataan anggota DPR Komisi III Fraksi PDIP, Safaruddin.
Usulan Rycko ini kemudian dihujani kritik baik dari organisasi keagamaan, legislator, pimpinan MPR hingga organisasi mahasiswa dan kepemudaan. Di antaranya satunya MUI, PGI dan Komisi VIII DPR RI .
“MUI sangat menyesalkan usulan yang disampaikan oleh Kepala BNPT yang menghendaki semua tempat ibadah berada di bawah kontrol pemerintah,” kata Waketum MUI Anwar Abbas kepada wartawan, Selasa (5/9).
BACA JUGA:Â Sahroni Sepakat dengan BNPT soal Masukkan NII ke Daftar Organisasi Teror
Senada dengan sikap MUI, pimpinan Komisi VIII DPR RI juga menilai usul Rycko menyalahi prinsip kebebasan beragama. “Saya menentang keras kontrol negara terhadap semua rumah ibadah di Indonesia. Karena menyalahi prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily kepada wartawan di hari yang sama.
Kemudian, Ketua Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom menyebut usul Rycko sebagai langkah mundur dari perjuangan demokrasi pasca-reformasi 1998.
“Usulan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Rycko Amelza Dahniel, yang menghendaki semua tempat ibadah berada di bawah kontrol pemerintah, merupakan langkah mundur dari proses demokratisasi yang sedang kita perjuangkan bersama pasca-Reformasi 1998,” kata Gomar Gultom dalam keterangan pers tertulisnya kepada wartawan, Senin (4/9). []
SUMBER: DETIK