Oleh: Dinda Puti Hafizah
Pemerhati Remaja
izzah.puti@gmail.com
UMAT Islam memperingati Tahun Baru Islam 1 Muharram 1441 H. Artinya, selama 1441 tahun itulah Islam telah menorehkan tinta emas di sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Selama itu pula lah jejak keagungannya dapat kita temui. Di Tanah Air, ghirah keislaman menyambut pergantian tahun baru Islam belakangan semakin meningkat.
Ada harapan dan keinginan dari segenap umat bahwa pergantian tahun baru Hijrah ini dapat memberikan kehidupan yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Namun demikian, yang sangat penting bagi kita adalah memetik makna sesungguhnya dari peristiwa hijrah Nabi SAW dan para sahabat kala itu, dari Makkah ke Madinah, yang terjadi 14 abad silam.
Belakangan, kata hijrah di Tanah Air menjadi populer. Kata ini disematkan untuk perubahan pribadi dari kondisi kemaksiatan menuju kondisi Islami. Pribadi Muslim yang ugal-ugalan, tidak peduli halal dan haram, hijrah menjadi individu yang dekat dengan Allah SWT. Dari Muslimah yang belum menutup aurat menjadi sosok yang tak lepas dari jilbab. Mereka yang tadinya terbiasa kotor dalam berucap menjadi sosok santun berlisan lembut. Masyarakat sering menamakan hal tersebut sebagai fenomena hijrah.
BACA JUGA: Pahala Puasa 1 Hari di Bulan Muharram sama dengan Pahala Puasa 30 Hari, Benarkah?
Sayangnya banyak umat Islam yang salah memahami Hijrah. Banyak dari mereka yang tetap ingin mendapat predikat gaul dan modis tapi juga tetap ingin ngaji, senantasa berpakaian syar’i tapi hobi nongki-nongki di cafe sampai masuk bioskop, sibuk habiskan waktu dan harta dengan shopping hijab terbaru dan ter-update.
Ibnu Hajar al-Asqalani di dalam kitab Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Bukhârî menjelaskan bahwa hijrah itu ada dua macam: zhâhirah (lahir) dan bâthinah (batin).
Hijrah batin adalah meninggalkan apa saja yang diperintahkan oleh hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukan dan seruan setan. Seorang Muslim yang bertobat kepada Allah SWT, bersungguh-sungguh menaati segala aturan-Nya dan meninggalkan kemaksiatan pribadi bisa disebut tengah melakukan hijrah. Sebagaimana penjelasan Nabi SAW saat beliau ditanya,
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang berhijrah (muhâjir) itu?” Beliau menjawab: Dialah orang yang meninggalkan perkara yang telah Allah larang atas dirinya (HR Ahmad).
Hijrah batin ini, yakni meninggalkan kemaksiatan menuju ketaatan, adalah perkara yang wajib bagi setiap Muslim. Siapa saja yang mengharapkan ridha Allah SWT sudah seharusnya meninggalkan kemungkaran menuju penghambaan kepada-Nya. Meninggalkan aktivitas tak berguna, budaya khalwat dan ikhtilat, menipu, berbisnis barang yang haram semisal narkotika, membuka aurat, membela LGBT, berbuat zalim terhadap sesama Muslim, mempersekusi dakwah, dll. Lalu beralih pada perilaku Islami. Giat beribadah, mencari rezeki yang halal, menutup aurat, beramar makruf nahi mungkar, menjaga diri dari perbutan fasik (keji), dan sebagainya. Allah SWT berfirman: “Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan surga seluas langit dan bumi yang disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa (QS Ali Imran [3]: 133).
Adapun hijrah zhâhirah (batin) yang diterangkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Fath al-Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî menjelaskan, asal dari hijrah adalah meninggalkan dan menjauhi keburukan untuk mencari, mencintai dan mendapatkan kebaikan. Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi SAW sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Hijrah lahir inilah yang menjadi peristiwa besar dalam sejarah umat. Pada saat Nabi SAW dan para sahabat berhijrah ke Madinah, Islam dapat ditegakkan secara kâffah, bahkan menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Maka sudah semestinyalah kaum muslim berhijrah dengan totalitas. Saat dalam berihjrah butuh ilmu yang mendampinginya, maka selayaknyalah hijrah pula pemikirannya. Dari yang tadinya hijrah karena ikut-ikutan. Menjadi hijrah yang berlandaskan ilmu, berbobot dan penuh makna.
Hijrah secara sikap artinya adalah dengan memenuhi segala kebutuhan hidup dengan terikat pada syariat Allah. Baik kebutuhan hidup itu berupa kebutuhan jasmani (makan/minum yang halal, pemenuhan hajat yang beradab, dsb) dan pemenuhan kebutuhan naluri (hubungan lawan jenis, peletakan rasa marah dan ingin memiliki harta, mendekatkan diri pada Sang Pencipta).
BACA JUGA: Perang di Bulan Muharram
Adapun hijrah secara pemikiran adalah dengan memahami segala sesuatu dengan pemahaman Islam. Standarnya bukan untung-rugi, bukan pula juga ide-ide atau pemikiran lain, akan tetapi hanya halal-haram.
Kualitas serta sikap dan pemikiran inilah yang menentukan keberkahan hijrah dan ketinggian pribadi seseorang. Karena itu tidak ada hubungannya dengan penampilan fisik seseorang. Bukan dari cantik/buruk rupa, tinggi/rendah fisik, modis/kuno penampilan, dan sebagainya.
Itulah mengapa Hijrah harus disertai dengan menuntut ilmu. Istiqomah memahami dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya itu, proses berhijrah akan terasa berat saat sendirian. Senantiasa dibutuhkan orang-orang yang akan saling menguatkan saat berhijrah, mengingatkan untuk istiqomah. Sehingga selalu siap menghadapi apapun tantangannya, apapun rintangannya. Termasuk di dalamnya amar ma’ruf nahiy munkar. Yaitu mengajak orang-orang di sekitar yang belum berhijrah dengan menyeru kepada seluruh kebaikan dan mencegah dari seluruh kemunkaran. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.