Oleh: H. Atik Fikri Ilyas, Lc, MA
Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo & Universitas Amer Abdel Kader Aljazair
Doktor Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KUALITAS dan hasil dari agenda yang akan kita lakukan sangat bergantung presepsi atau mindset kita terhadapnya. Demikian halnya Ramadhan, hasil, kualitas, target, dan nilai Ramadhan kita, amat bergantung dengan presepsi, mindset atau cara pandang kita terhadapnya. Bila kita tanya diri kita, apa sih presepsi kita tentang bulan yang hadir tiap tahun ini? Bila mindset kita adalah, Ramadhan, ya gak makan dan minum waktu siang, khas makanan buka, tidur, lemes, baju baru, THR (Tunjangan Hari Raya), mudik, ketupat lebaran, acara TV serba religi, dan lainnya. Maka yakinlah kita akan menjalani dengan biasa, tidak spesial, dan menjadi alumni yang biasa-biasa aja –bahkan bisa dikatakan gagal— juga, Ramadhan tidak berdampak pada kehidupan dan keimanan kita selanjutnya.
Padahal Ramadhan yang Allah swt kehendaki untuk kita adalah Ramadhan dipandang sebagai bulan penuh power, ada kekuatan mahadahsyat yang didisain-Nya; power menuju takwa, berlimpah pahala, menghasilkan syafaat, pintu surga dibuka lebar, kebahagiaan, momen perbaikan diri, saatnya berbagi, dan lain sebagainya seperti yang dijelaskan Rasulullah saw. Bila power itu ada dalam mindset kita, maka kita akan memasuki, mengisi Ramadhan dengan power, penuh energi dan kekuatan, menjadi spesial, dan power itu pun akan berdampak pada putaran waktu pasca Ramadhan. Karena itu, kita alangkah indahnya bila kita dapat power Ramadhan, betapa nikmatnya beramadhan dengan power, bertenaga, antusias, semangat, sehingga kita raih target dan dapat ramadhankan hidup kita.
Di antara power Ramadhan yang sepatutnya masuk dalam mindset kita ada lima, yaitu bahagia dan berkah; bebas neraka dan masuk surga; hapus dosa dan belanja pahala; dahsyatnya doa dan Lailatul Qadar; indahnya berbagi dan silaturahim.
Singkatnya, mari kita tancapkan dan targetkan dalam hati, dalam agenda Ramadhan kita, bahwa Ramadhan harus menjadi bulan kebahagiaan sejati, bahagia saat berbuka dan format bahagia agar bisa bertemu Allah swt (masuk surga). Kita hujamkan juga agar sukses di bulan Ramadhan, sukses yang ditandai dengan bertambahnya keberkahan dalam hidup kita. Dalam arti, orang sukses Ramadhan adalah orang yang ia terus menjadi lebih baik, lebih shaleh, lebih dekat dengan Allah saat Ramadhan dan pasca Ramadhan.
Kita pun agendakan bahwa Ramadhan harus menjadi momentum jauh dari neraka dan masuk dalam daftar absensi penghuni surga. Allah swt menyediakan surga ar-Rayyan bagi orang yang puasa, dan kita sudah berada pada momentum itu, tinggal kita benar-benar berupaya meraih tiket ar-Rayyan itu, dengan banyak melakukan amal keshalehan. Karena itu selanjutnya adalah kita tajamkan –agar masuk surga dan bebas dari neraka—kita gunakan power Ramadhan sebagai saat bebas dari dosa dan belanja pahala, “Siapa berpuasa (riwayat lain shalat malam, menghidupkan Lailatul Qadar), karena iman kepada Allah dan mengharap pahala dari-Nya, maka dosa-dosa yang telah lalu diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Saatnya belanja pahala, kita bak sudah masuk Mega Mall Ramadhan, banyak amal yang dijanjikan pahala spesial, kita harus membelinya (mengamalkannya), mulai dari tilawatul qur’an, sedekah, berbuat kebaikan, menambah amalan-amalan sunnah, dan lain sebagainya. Jangan sampai kita sudah masuk ke Mega Mall Ramadhan yang menyediakan bonus pahala berlipat dan diskon habis dosa, tapi kita keluar tanpa meraihnya. Tentu merugi.
Ramadhan adalah bulan doa, doa orang puasa mustajab (HR. Baihaqi). Ketika akan berbuka puasa doa orang yang puasa mustajab. (HR Tirmidzi). Bahkan dalam rangkaia ayat yang memaparkan tentang puasa, QS. al-Baqarah 183-187, Allah swt “menyelipkan” satu ayat 186 ayat yang tidak ada hubungannya dengan tema puasa, yaitu ayat tentang doa. Hal ini tidak berlebihan jika Ramadhan disebut juga sebagai syahru ad-Du’a (bulan doa). Terlebih menjelang akhir Ramadhan, Allah swt menyedikan malam spesial Lailatul Qadar, malam yang lebih baik, lebih berpahala daripada 1000 bulan atau 83 tahun lebih. Karena itu, Rasulullah saw selalu beri’tikaf di sepuluh malam terakhir, bahkan di tahun dimana beliau wafat, beliau I’tikaf selama 20 hari. Berbeda dengan nuansa di Indonesia umumnya, akhir Ramadhan, saat husnul khatimah Ramadhan ditentukan, lebih banyak yang sibuk dengan orientasi belanja baju baru, persiapan aneka makanan, mudik, sehingga masjid menjadi kosong, keshalehan-keshalehan berganti, dan seolah kebiasaan indah Ramadhan pudar. Mari merubah, bukan tidak boleh untuk baju baru dan makanan lebaran, tapi alangkah baiknya ia sudah disiapkan jauh sebelumnya, sehingga tidak mengganggu proses husnul khatimah Ramadhan.
Power selanjutnya, Ramadhan kita targetkan sebagai bulan indah berbagi dengan sesama. Rasul sosok yang sangat dermawan, dan kedermawananya lebih kuat pada bulan suci Ramadhan. (HR. Bukhari). Zakat, sedekah, infak dan berbagi hadiah sepatutnya menjadi agenda utama di bulan suci Ramadhan agar lebih bermakna dan penuh kekuatan mengisi hari-hari Ramadhan. Terakhir, kesempatan nuansa Ramadhan dan Idul Fitri tentu indah bila dicanangkan sebagai bulan silaturahim, memperbaiki hubungan dengan sesama, saling memaafkan. Agar –jika dengan izin-Nya—dosa-dosa kepada Allah swt telah diampuni, tinggal dosa-dosa dengan sesama yang memang tidak dapat diampuni Allah swt, selama sesamanya belum mau memaafkannya.
Semoga dengan kita mengembangkan mindset kita terhadap Ramadhan dengan penuh power, dan di antaranya dengan lima power tersebut, semoga Ramadhan kita benar-benar menjadi spesial dan menghantarkan kita pada ampunan dosa, dan raih surga-Nya. Aamiin. []