SYAIKH Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin menjelaskan tentang seseorang yang beribadah kepada Allah, tetapi ada tujuan lain. Beliau membagi orang tersebut menjadi tiga golongan.
1. Seseorang bermaksud untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada selain Allah dalam ibadahnya dan untuk mendapat sanjungan dari orang lain. Perbuatan seperti itu dapat membatalkan amalnya dan juga termasuk perbuatan syirik
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW, Allah berfirman:
“Aku tidak butuh kepada semua sekutu. Barang siapa beramal mempersekutukan-Ku dengan yang lain, maka Aku biarkan dia bersama sekutunya. (HR Muslim dan Ibnu Majah)
2. Ibadahnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi, seperti ingin menjadi pemimpin, mendapatkan kedudukan dan harta, tanpa bermaksud untuk taqarrub kepada Allah.
BACA JUGA:Saudaraku, Ringankanlah Hidupmu dengan Ikhlas
Amal seperti ini akan terhapus dan tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Hud: 15-16)
Perbedaan antara golongan kedua dan pertama ialah, jika golongan pertama bermaksud agar mendapat sanjungan dari ibadahnya kepada Allah SWT. Sedangkan golongan kedua tidak bermaksud agar dia disanjung sebagai ahli ibadah kepada Allah dan dia tidak ada kepentingan dengan sanjungan manusia karena perbuatannya.
3.Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT sekaligus untuk tujuan duniawi yang akan diperoleh.
Misalnya:
– Tatkala melakukan thaharah, disamping berniat ibadah kepada Allah, juga berniat untuk membersihkan badan.
– Puasa dengan tujuan diet dan taqarrub kepada Allah.
– Menunaikan ibadah haji untuk melihat tempat-tempat bersejarah, tempat-tempat pelaksaan ibadah haji dan melihat para jamaah haji.
Semua ini dapat mengurangi balasan keikhlasan. Andai kata yang lebih banyak adalah niat ibadahnya, maka akan luput baginya ganjaran yang sempurna. Namun, apabila yang lebih berat bukan niat untuk beribadah, maka ia tidak memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia.
Bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya pada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah SWT sebagai tujuan yang paling tinggi, ia malah jadikan sebagai sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya. Keadaan seperti itu difirmankan Allah SWT:
“Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang pembagian zakat, jika mereka diberi sebagian darinya mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, dengan serta mereka menjadi marah. (At Taubah: 58)
Dalam Sunan Abu Dawud, dari Abu Hurairah Ra, ada seseorang bertanya: “Ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Seseorang ingin berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ingin mendapatkan harta (imbalan) dunia?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidak ada pahala baginya.” Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm menjawab, ”Tidak ada pahala baginya.”
BACA JUGA:Muslimah, Sudah kah Ikhlas?
Dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa hijrahnya diniatkan untuk dunia yang hendak dicapainya, atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrahnya sesuai dengan tujuan niat dia berhijrah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ada seorang ulama Salaf berkata: “Tidak ada satu perjuangan yang paling berat atas diriku, melainkan upayaku untuk ikhlas. Kita memohon kepada Allah SWT agar diberi keikhlasan dalam niat dan dibereskan seluruh amal.”
Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku ikhlas, kedudukan dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas kaitannya dengan kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan.
Yang pokok dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya amal. Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat yang tidak akan di terima di sisi Allah, kecuali dengan keduanya.
Pertama niat dan ikhlas karena Allah SWT. Kedua, Sesuai dengan Sunnah. Yakni sesuai dengan Al-Quran atau yang dijelaskan Rasulullah SAW dan sunnahnya. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, sebagaimana hal ini ditunjukan dalam firman Allah SWT:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb-Nya.” (Al Kahfi : 110).
Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ”Bagaimanakah pendapatmu (tentang) seseorang yang berperang demi mencari upah dan sanjungan, apa yang diperolehnya?”
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari ridha Allah SWT. []
SUMBER: ALMANHAJ.OR.ID