PADA postingan kali ini saya akan mencoba menyampaikan tafsir surah al-Baqarah ayat 256. Berikut ayatnya:
لا إكره فى الدين ، قد تبين الرشد من الغي ، فمن يكفر بالطغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها ، والله سميع عليم
Frase laa ikraaha fid diin kadang digunakan sebagai dalih (bukan dalil) oleh pengusung pluralisme untuk membenarkan ide mereka. Kata mereka, Al-Qur’an sendiri menjamin kebebasan beragama bagi setiap individu, buktinya Al-Qur’an melarang untuk melakukan paksaan (ikraah) dalam memeluk dan memilih agama. Bahkan, lebih jauh, mereka juga menyatakan bahwa ayat ini merupakan salah satu dasar dibolehkannya seorang muslim meninggalkan agamanya alias murtad atau mengikuti ajaran yang menyimpang seperti Ahmadiyah.
Benarkah hal tersebut? Jawabannya, tidak. Sudah merupakan prinsip dasar bagi kalangan pengusung ide liberalisme dan pluralisme untuk menyimpangkan dan menyesatkan pemahaman umat dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan tafsir seenak perut mereka sendiri. Tujuannya adalah untuk menghancurkan umat Islam dari dalam.
BACA JUGA: Kisah Akhir Khayat Seorang yang Hobi Mencela Agama
Lalu apa pemahaman yang benar terhadap ayat ini? Berikut saya akan sedikit jelaskan berdasarkan kitab-kitab tafsir yang mu’tabar.
Kata ad-diin dalam ayat ini, menurut Imam al-Qurthubi, bermakna al-mu’taqad (keyakinan/aqidah) dan al-millah (jalan hidup) (lihat al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an juz 4 hal 280). Ath-Thabari dalam kitab tafsir beliau, mengutip Abu Ja’far, menyatakan makna ad-diin adalah Islam (lihat Tafsir at-Thabari juz 5 hal 415). Dari penjelasan tersebut, frase laa ikraaha fid diin artinya tidak ada paksaan dalam memeluk aqidah Islam. Mengapa? Jawabannya ada di kelanjutan ayat, qad(t) tabayyanar rusydu minal ghayyi.
Ar-rusyd artinya al-haqq (kebenaran), sedangkan al-ghayy artinya ad-dhalal (kesesatan). Jadi frase qad(t) tabayyanar rusydu minal ghayyi berarti sesungguhnya telah jelas kebenaran dari kesesatan, telah jelas yang haq dari yang batil. Frase ini dengan sangat jelas menyatakan diinul Islam sebagai kebenaran dan diin ghairil Islam sebagai kesesatan, frase ini juga menyatakan bahwa yang benar itu telah jelas dan yang sesat itu juga telah jelas (silakan lihat tafsir ath-Thabari dan kitab tafsir lain tentang penjelasan hal ini). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ulama mujtahid abad ke-20 sekaligus muassis Hizbut Tahrir, dalam kitab beliau Nizham al-Islam bab Thariqul Iman telah menjelaskan dalil aqli dan naqli yang menunjukkan kebenaran diinul Islam. Artinya, untuk mengetahui dan mengikuti kebenaran Islam tidak perlu paksaan, karena Allah telah menunjukkan jalan kebenaran tersebut dengan jelas dan mampu kita indra dan pikirkan melalui akal kita, afala ta’qiluun?
Jadi frase ini dengan sangat jelas mencela orang-orang yang masih mengambil diin selain Islam, karena dengan hal tersebut mereka telah menutup diri dari kebenaran dan tak mau menggunakan akal mereka untuk mencari kebenaran.
Faman(y) yakfur bith-thaaghuuti wa yu’min(m) billahi faqadis tamsaka bil ‘urwatil wutsqaa lan(m) fishaama lahaa, wallahu samii’un ‘aliim. Frase ini adalah untuk orang-orang yang mengikuti diinul Islam, yaitu orang-orang yang mengingkari thaghut (apapun yang disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala) dan beriman kepada Allah ta’ala (hanya meyakini Allah sebagai ilah dan rabb). Mereka telah berpegang pada al-‘urwah al-wutsqa (pegangan yang paling kuat) yaitu al-Iman, al-Islam dan kalimat tauhid laailaahaillallah. Al-‘urwah al-wutsqa ini juga yang dinamakan dengan ash-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus) (silakan lihat tafsir ath-Thabari, al-Qurthubi dan Ibnu Katsir).. Frase al-‘urwah al-wutsqa dilanjutkan dengan lan(m) fishaama lahaa, yang tidak akan putus. Ini merupakan penguat yang menunjukkan bahwa diinul Islam ini merupakan pegangan yang paling kuat dan tidak akan pernah putus, artinya selama seseorang memegang Islam, dia pasti akan selamat.
Ayat ini ditutup dengan penyebutan sifat Allah subhanahu wa ta’ala yaitu samii’ (maha mendengar) dan ‘aliim (maha mengetahui). Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa disebutkannya sifat ini untuk menunjukkan bahwa Allah maha mendengar ucapan seseorang yang menyatakan kufr terhadap thaghut dan beriman kepada Allah serta mengetahui keyakinan seseorang yang ada di dalam hati tentang kekafirannya terhadap thaghut dan keimanannya kepada Allah ta’ala.
Tentang ikraah (paksaan) dalam memeluk Islam, secara umum hal ini dilarang, namun ada dua pengecualian menurut Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah dalam kitab tafsir beliau Taysir fi Ushul at-Tafsir, yaitu:
1. Ketundukan ahludz dzimmah (non muslim yang tinggal di negara Islam) kepada hukum-hukum Islam selain perkara keyakinan. Dikecualikan juga adalah peribadatan mereka di tempat-tempat ibadah mereka, minuman dan makanan mereka. Selain perkara-perkara tersebut (keyakinan, ibadah, minuman dan makanan), mereka diwajibkan dan dipaksa untuk tunduk dan mengikuti hukum Islam dalam kehidupan umum mereka. Dalil dalam hal ini adalah firman Allah dalam surah at-Taubah ayat 29 sebagai berikut:
حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صغرون
Artinya: “Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (kepada hukum Islam)”. (TQS. At-Taubah [9]: 29)
BACA JUGA: Keutamaan Mengajar dan Belajar Ilmu Agama
2. Orang-orang musyrik Arab, mereka dipaksa untuk memeluk Islam, jika tidak mereka akan dibunuh. Dalilnya adalah:
ستدعون إلى قوم أولى بأس شديد تقتلونهم أو يسلمون
Artinya: “Kalian akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kalian akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam)”. (TQS. Al-Fath [48]: 16)
Kaum yang dimaksud dari ayat diatas adalah kalangan musyrik Arab.
Demikianlah penjelasan yang benar terhadap surah al-Baqarah ayat 256. Sama sekali keliru jika ada yang menggunakan ayat ini sebagai hujjah untuk membela ide pluralisme dan liberalisme, bahkan jelas sekali ayat ini kontradiktif dengan pemahaman orang-orang bodoh tersebut. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah subhanahu wa ta’ala agar tetap berpegang pada al-‘urwah al-wutsqa sampai akhir hayat kita. Amiin Ya Rabbal ‘Aalamiin. []
Web: Abufurqan.net
Facebook: Muhammad Abduh Negara III