PARA ulama salaf ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in, dulu sangat berhati-hati dalam menyatakan hukum secara tegas pada perkara-perkara yang tak terdapat nash yang sharih padanya. Mereka tak banyak menyatakan “ini halal” atau “ini haram”, dan mereka hanya menggunakan ungkapan-ungkapan yang lebih ringan, tanpa menegaskan wajib atau haram.
Al-A’masy berkata: Saya tak pernah mendengar Ibrahim berkata “halal” atau “haram”. Ia hanya berkata, “Mereka tak menyukainya, dan mereka menyukainya”.
BACA JUGA: 4 Bahan dalam Produk Skincare Ini Bisa Jadi Non Halal, Muslimah Harus Tahu
Imam Ahmad bertawaqquf dalam banyak persoalan, dan jika beliau menjawab, sebisa mungkin beliau tak menjawab dengan jawaban tegas.
Imam Malik berkata: Bukan sesuatu yang digunakan para ulama, juga tidak digunakan para salaf pendahulu kita, dan saya tidak mendapatkan ada seseorang yang diikuti pendapatnya, berkata tentang sesuatu, “ini halal”, dan “ini haram”. Mereka sangat berhati-hati dalam hal ini. Mereka hanya mengatakan, “Kami membenci ini”, “Kami memandang ini baik”, “Kami berhati-hati terhadap ini”, “Kami tidak memandang ini”, dan mereka tidak berkata “halal” atau “haram”.
Namun, pada sebagian keadaan, tetap perlu memberi jawaban atau pernyataan yang tegas, misal pada:
BACA JUGA: Asrorun Niam Paparkan Standar Hewan Halal dalam Forum Pangan Halal Dunia
1. Perkara yang ditetapkan oleh dalil yang shahih lagi sharih, dan tidak ada indikasi apapun yang mengalihkan hukumnya. Atau hukumnya ditetapkan oleh ijma’ yang dinukil secara shahih.
2. Jika ada keperluan yang mendesak untuk memberikan jawaban yang tegas. Misal jika ada orang yang menunggu fatwa tentang sesuatu, jika boleh, ia akan mengerjakannya, jika haram, akan ia tinggalkan. Sedangkan mufti atau peneliti, setelah melakukan penelitian yang cukup mendalam menemukan bahwa hukum sesuatu itu memang boleh. Maka, pada kondisi ini, ia perlu menyebutkan kata “mubah” secara tegas, terlebih jika yang bertanya adalah orang yang bertaqwa dan wara’, yang hanya melakukan sesuatu setelah tahu hukumnya secara jelas.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Bacaan: Shina’atul Faqih, karya Ra’fat Farid Suwailim, Terbitan Dar Al-Bayan, Hlm. 252-253.
Facebook: Muhammad Abduh Negara