ADA syubhat yang kini semakin mengemuka bahkan menjadi sebuah arus baru dalam kehidupan kaum Muslimin. Syubhat ini bukan hanya didukung oleh artis, tapi juga dipopulerkan oleh mereka yang memiliki banyak pengikut dan digelari ustadz atau julukan lainnya.
Alhasil, syubhat ini menjadi semacam keharusan. Semua orang mengejar dan mengupayakannya hingga menabrak atau melanggar berbagai kaidah lain dalam Islam yang amat mulia ini.
Syubhat itu berbunyi, “Muslim harus kaya!”
Mengapa kami menyebut gerakan ini sebagai syubhat? Sebab Allah Ta’ala berfirman di dalam al-Qur’an surat al-An’am [6] ayat 165, “Dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian lainnya beberapa derajat.”
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Allah Ta’ala membedakan di antara kalian dalam hal rezeki, akhlak, kebaikan, keburukan, penampilan, bentuk, dan warna kulit. Terdapat hikmah di balik semua itu.”
Perhatikanlah, Allah Ta’ala sudah menaqdirkan; tidak semua hamba diberikan kekayaan. Penghasilan masing-masing orang berbeda. Tidaklah sama pekerjaan satu orang dengan yang lainnya. Semuanya memiliki kecenderungan dan hobi masing-masing.
Tidak bisa dipaksa sama. Mustahil disetarakan.
Di tahap ini, syubhat ‘Muslim harus kaya’ perlu direvisi atau diluruskan. Sebab ketika salah dipahami, harus kaya berdampak pada dihalalkannya berbagai macam cara, asal bisa mendapatkan kekayaan yang didambakan.
Lantas, bagaimana seharusnya?
Senantiasalah belajar agar tidak keliru dalam memahami. Yang diwajibkan adalah bekerja. Mengulik berbagai jenis karunia Allah Ta’ala yang terhampar di semesta raya. Soal hasil adalah kuasa-Nya Ta’ala.
Namun, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam juga mensyariatkan ‘itqan dalam pekerjaan. Ialah bertindak secara professional. Tidak asal bekerja. Tidak asal-asalan dalam melakukan amanah yang diberikan kepadanya.
Lakukan dengan sebaik mungkin. Dari hati yang paling dalam.
Ketika professional sudah menjadi jiwa dalam melakukan pekerjaan, insya Allah hasil tiada pernah mengkhianati proses. Pun sebaliknya, mustahil mendapatkan hasil nan memuaskan jika upayanya seadanya. Hanya setengah-setengah.
Ketika fokusnya kerja, kekayaan tak lagi menjadi tujuan. Muara dari kerja ialah tawakkal dan qanaah. Menyerahkan seluruh hasil kepada-Nya dan berpuas diri terhadap seberapa pun pemberian-Nya.
Yang amat penting dan seharusnya dipahami bukanlah ‘Muslim harus kaya’. Sebab ketika ditakdirkan memilih Islam, sungguh kita sudah layak digelari ‘Muslim sudah pasti kaya!’.[]