MACAM-macam najis dan cara membersihkannya yang selanjutnya adalah,
1 3. Madzi dan Wadi
Madzi adalah cairan bening, halus dan lengket yang keluar ketika adanya dorongan syahwat, seperti bercumbu, mengingat jima’ (persetubuhan) atau menginginkannya. Keluarnya madzi tidak memancar dan tidak diakhiri dengan rasa lemas atau kendornya syahwat, bahkan terkadang seseorang tidak merasakan keluarnya madzi.
Air ini terjadi pada kaum lelaki maupun kaum wanita, akan tetapi lebih sering pada kaum wanita. Air tersebut adalah najis berdasarkan kesepakatan ulama.
Sedangkan wadi adalah cairan berwarna putih dan kental, biasanya keluar setelah buang air kecil. Air tersebut najis berdasarkan ijma’.
Cara membersihkan madzi dan wadi adalah dengan mencuci kemaluan, berdasarkan riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib Ra yang menyuruh Miqdad bin al-Aswad Ra untuk bertanya kepada Rasulullah SAW perihal dirinya yang sering mengeluarkan madzi, dan Rasulullah SAW bersabda,
“(Hendaklah) dia mencuci kemaluannya dan berwudhu’.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dan apabila air madzi mengenai pakaian, maka cukup dibersihkan dengan menyiramkan air setelapak tangan ke pakaian yang terkena madzi tersebut. Hal ini berdasarkan riwayat Sahl bin Hunaif Ra, dia bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai madzi yang mengenai pakaiannya, maka Rasulullah SAW menjawab,
“Cukuplah bagimu mengambil air satu telapak tangan, lalu tuangkanlah ke pakaianmu (yang terkena madzi) sampai engkau lihat air tersebut mengenainya (membasahinya).” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
2 3. Kotoran Hewan yang Dagingnya Tidak Boleh Dimakan
Kotoran hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan adalah najis, hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Abdullah Ra, ia berkata,
“Nabi SAW hendak buang air besar, lalu beliau berkata, ‘Bawakan untukku tiga batu!’ Kemudian kudapati untuk beliau dua batu dan satu kotoran. Beliau mengambil dua batu dan melemparkan kotoran, lalu bersabda, ‘Ia kotor lagi keji (najis).” (HR Bukhari, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, an-Nasa’i, dan Tirmidzi)
Dan cara membersihkannya sama dengan membersihkan kotoran manusia.
3 4. Air Liur Anjing
Air liur anjing adalah najis. Adapun seluruh tubuh dan bulunya, kecuali mulutnya, pada dasarnya adalah suci.
Untuk membersihkan air liur anjing yang mengenai benda, maka bisa dilakukan dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali dan cucian pertama dicampur dengan tanah. Jika yang dikenai adalah makanan, maka hendaklah membuang bagian yang terkena air liur tersebut dan yang disekelilingnya, sedang sisanya masih dianggap suci.
Nabi SAW bersabda,
“Sucinya bejana salah seorang di antara kalian jika dijilati anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, dan yang pertama kali dicampur dengan tanah.” (HR Muslim)
4 5. Babi
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai najis dan haramnya daging babi, lemaknya dan seluruh anggota tubuhnya.
5 6. Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati tanpa disembelih secara syari’at. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jika kulit bangkai telah disamak, berarti dia telah suci.” (HR Muslim, Abu Dawud)
Dan riwayat di atas sekaligus menjadi dalil untuk mensucikan kulit bangkai binatang supaya dapat dimanfaatkan.
Adapun bangkai yang tidak dihukumi najis, yaitu:
Bangkai ikan dan belalang
Keduanya suci berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, ad-Daruquthni, al-Baihaqi)
Bangkai yang darahnya tidak mengalir, seperti lalat, lebah, semut, kutu, dan sejenisnya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jika lalat jatuh ke dalam bejana salah seorang di antara kalian, maka tenggelamkanlah semuanya ke dalam air, kemudian buanglah. Karena sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lain terdapat penawarnya.” (HR Bukhari, Ibnu Majah)
Tulang bangkai, tanduknya, kukunya, rambutnya dan bulunya.
Pada dasarnya semuanya adalah suci. Imam Bukhari telah mencantumkan dalam kitab Shahiih-nya, “az-Zuhri berkata tentang tulang pada bangkai, seperti tulang pada bangkai gajah dan yang lainnya, ‘Aku telah mendapati sejumlah ulama’ salaf memakai sisir yang terbuat dari tulang bangkai dan memakai minyak yang terdapat padanya (untuk rambut), dan mereka tidak menganggap apa-apa.’”
Su’ru (Sisa Air yang Diminum) Binatang Buas dan Binatang Lain yang Dagingnya Tidak Boleh Dimakan
As-Su’ru maknanya adalah sisa air yang ada pada suatu wadah setelah diminum. Dalil yang dijadikan landasan bagi najisnya sisa air ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jika air itu mencapai dua qullah (Dua qullah setara dengan kurang lebih 270 liter), maka ia tidak akan terkotori.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan an-Nasa’i)
Menurut sekelompok fuqaha (ahli fiqh), jika najis jatuh di air yang banyaknya dua qullah maka air itu tetap dikatakan suci, selama salah satu sifatnya tidak berubah. Tapi, jika najis jatuh di air yang ukurannya kurang dari dua qullah maka air tersebut menjadi najis, meski salah satu sifatnya tidak berubah.
Jadi, hadits qullatain di atas adalah persyaratan tentang ukuran air yang dinilai suci. Sehingga apabila binatang buas dan binatang lain yang dagingnya tidak boleh dimakan minum di tempat yang airnya berukuran dua qullah atau lebih, maka airnya tetap suci.
BACA JUGA: Tidak Tahu Ada Najis di Pakaian saat Shalat, Apakah Diterima?
Adapun kucing, maka air sisa minumnya adalah suci, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Kucing itu bukanlah najis, ia hanyalah hewan jantan dan betina yang biasa berkeliaran di tengah-tengah kalian.” (HR Ahmad)
Itulah beberapa macam najis dan cara pembersihannya, yang telah disebutkan dalam dalil. Jika seorang muslim ragu mengenai kenajisan air, pakaian, tempat shalat, benda, atau yang lainnya, semuanya itu tetap dinilai suci.
Demikian pula apabila kita meyakini kesucian sesuatu hal, kemudian kita merasa ragu apakah hal tersebut najis atau tidak, maka hukum yang berlaku adalah kesucian yang kita yakini.
Demikian pula apabila kita meyakini kenajisan sesuatu hal, kemudian kita lupa untuk menyucikannya, apakah sudah disucikan atau belum, maka hukum yang berlaku adalah apa yang diyakini. Demikian itulah kaidah yang agung, yakni tetap berpedoman pada keadaan yang diketahui dan mengesampingkan keraguan.
Wallahu a’lam. []
SUMBER: MUSLIMAH.OR.ID