DALAM diri Rasulullah SAW merupakan teladan yang baik. Pernikahan Rasulullah dengan istri-istrinya merupakan perintah Allah SWT. Sehingga pasti terdapat hikmah poligami yang dijalankan Nabi SAW:
Pertama, kehidupan Rasulullah SAW, baik yang khusus maupun yang umum semuanya merupakan teladan.
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
BACA JUGA:Â Tempat Khusus Khadijah di Hati Nabi
Karena orang yang paling tahu tentang kehidupan seorang yang sifatnya khusus adalah para istrinya, maka Rasulullah SAW dituntut untuk berpoligami.
Mereka para istri Rasulullah berperan sebagai penerjemah dan penyampai atas kehidupan Rasulullah SAW yang sifatnya khusus kepada manusia, serta sebagai pengontrol peraturan dakwah di antara barisan wanita.
Kedua, orang yang dengan cermat mengamati para istri Rasulullah saw, maka ia akan menemukan bahwa mereka itu berbeda-beda, di antaranya ada anak-anak yang masih senang bermain boneka, ada yang sudah tua, ada yang berasal dari anak wanita musuh yang sangat memusuhinya, ada yang berasal dari anak wanita orang yang sangat mengaguminya, dan ada pula di antara mereka yang senang mengasuh anak yatim. Mereka adalah cermin tipe-tipe individu manusia.
Dengan demikian, Rasulullah SAW telah menyuguhkan kepada para sahabatnya dan kaum muslimin peraturan yang indah yang mengajari mereka bagaimana cara bergaul yang sukses dengan tiap-tiap tipe dari tipe-tipe manusia.
BACA JUGA:Â Kesaksian Abu Thalib yang Membuat Nabi Bersedih
Ketiga, setelah Rasulullah SAW memproklamirkan Islam di Madinah al-Munawwarah, maka suku-suku di Arab memusuhinya, sehingga yang memusuhinya tidak hanya suku Quraisy, seperti ketika di Mekkah. Rasulullah SAW melihat bahwa hikmah poligami di antaranya dapat menghentikan beberapa kekuatan musuh, sebab bagi orang-orang Arab ada kewajiban menjaga dan melindungi siapa saja yang menikah dengan wanita dari kalangannya.
Oleh karena itu mereka menamakan dirinya al-Ahma’ (para pelindung). Maka dari itu, Rasulullah SAW berusaha menikahi wanita dari berbagai suku untuk menghentikan atau meringankan permusuhannya. []
Sumber: Sirah Nabawiyah/Penulis: DR. Muh. Rawwas Qol’ahji/ Penerbit: al-Azhar Press/ Maret, 2013