Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ditinjau dari sisi sudah tuntas atau tidaknya bahasan fiqih, ia bisa dibagi menjadi tiga:
1. Bahasan yang sudah tuntas dibahas oleh para ulama terdahulu, tidak ada yang terlewat oleh mereka, dan tidak ada hal baru terkait dengannya yang perlu diteliti.
Misal: soal qunut shubuh, jumlah rakaat tarawih, dan banyak persoalan fiqih lainnya.
BACA JUGA:Â Prinsip Kemudahan dalam Fiqih Islam
Orang berhak untuk mengikuti madzhab yang ia tsiqah padanya, atau melakukan tarjih pendapat jika ia mampu, namun tidak ada argumentasi baru yang bisa diajukan, semua yang perlu kita ketahui, sudah termaktub di kitab-kitab para ulama terdahulu.
2. Bahasan yang benar-benar baru, qadhaya mu’ashirah, yang memerlukan ijtihad baru untuk menjawabnya, baik dengan metode takhrij madzhab atau ijtihad yang lebih terbuka dan tidak terikat dengan satu madzhab, baik ijtihad individual maupun ijtihad jama’i.
Misal: soal status uang kertas, transaksi elektronik, dan semisalnya.
Pada perkara ini, yang kita rujuk adalah pendapat ulama kontemporer, baik individual maupun jama’i dalam majma’ fiqhi atau lembaga fatwa yang kredibel.
BACA JUGA:Â Makna Ilmu dalam Definisi Fiqih
3. Bahasan klasik yang sudah banyak dibahas, namun karena perubahan zaman dan keadaan, karena perkembangan sains dan teknologi, dan semisalnya, maka perlu ada kajian dan penelitian baru, yang bisa jadi mengubah fatwa ulama di masa lalu, atau menjadikan pendapat yang dulu dianggap marjuh menjadi rajih di masa sekarang, dll.
Contoh: posisi hisab falaki dalam penentuan awal bulan qamariyyah, termasuk Ramadhan dan Syawwal, penelitian ulang terhadap fatwa ulama klasik yang lahir dari proses istiqra, atau sebagian persoalan siyasah yang memerlukan penyesuaian dengan konteks zaman, dan semisalnya.
Wallahu a’lam. []