Oleh: Ni’matul Khoiriyyah, S.Pd.I
Owner An-Ni’mah Arabic private Course (AAPC), iranusa.humble@gmail.com
Boleh jadi agak janggal ketika mengangkat topik pernikahan yang ditulis oleh seseorang yang belum menikah. Tapi tak ada salahnya, dunia ini luas ilmu Allah bertebaran di mana-mana. Ilmu Allah ada yang tertulis, ada yang tersebar dalam wujud fenomena alam atau kauniyah. Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah madrasah. Kita sebagai ‘abd-Nya yang harus aktif mengakses ilmu-ilmu Allah untuk bekal hidup.
Kalau boleh saya ajukan pertanyaan, apa yang terlintas dalam benak Anda ketika mendengar atau membaca kata “nikah”? Ada yang langsung membayangkan sebuah akad yang khidmat, resepsi yang meriah, kado yang melimpah, atau bahkan partner hidup yang setia walau kadang tak seiya sekata. Atau ada yang memiliki gambaran buruk seperti perceraian, pengkhianatan maupun penipuan.
Setiap orang punya gambaran masing-masing tentang pernikahan, namun apakah sebenarnya tujuan utama pernikahan itu? “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum : 21).
Supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Ternyata tujuan utama pernikahan adalah ketentraman, ketenangan hati.
Sejenak kita melihat sejarah di masa lampau, bukankah Nabi Adam a.s. di surga-Nya yang begitu indah dan sempurna masih merasa kesepian padahal semua yang dibutuhkan dan diinginkan tersedia? Ternyata ada yang kurang, apa itu? Sakinahnya hati, karena beliau membutuhkan seorang pendamping lalu Allah hadirkan Siti Hawa’.
Maha Suci Allah yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasang, untuk saling mengisi, saling menguatkan, saling menentramkan, saling melengkapi dan saling berkasih-sayang satu sama lain.
Ketika kita sudah mengetahui tujuan utama pernikahan, langkah apa yang harus kita jalani untuk menuju akad nikah yang barokah? Langkah pertama, mempersiapkan adalah jawaban terbaik. Bagaimana mempersiapkan diri agar menjadi partner hidup yang setia dan mulia akhlaknya, mampu melipur kala pasangan tengah gulana, mampu menghadirkan senyum kala pasangan tengah terluka, mampu menghadirkan tawa saat rasa lelah menyapa, mampu menghibur kala pasangan tengah berduka, mampu menjadi motivator terhebat untuk mengajak taqarrub pada Pencipta.
Subhanallah, andai semua tujuan dan tugas-tugas mulia ini disadari oleh setiap pasangan tentu kebahagiaan abadi senantiasa didapatkan. Meskipun hidup tidak penuh dengan kebahagiaan, namun duka pun tak ada yang abadi. Hidup adalah rangkaian dari nikmat dan ujian, bahagia dan duka, tangis dan tawa, luka dan karunia. Langkah kedua, coba kita cermati petikan lirik lagu ini.
“Bukan harta bukan rupa, bukan pula kehebatan. iman dan taqwamu sayang, mencintaimu aku tenang. Bukan karena cantik wajahmu aku sayang kamu, bukan karena harta ayahmu aku cinta kamu, bukan karena senyum manjamu aku sayang kamu bukan karena kedudukanmu, aku cinta kamu luhur akhlakmu, kejujuranmu serta ilmumu. Itulah yang membuatku tergila-gila padamu. Soal miskin atau kaya bagiku tiada problema, yang penting dia setia, beriman serta bertakwa”
Ternyata hal mendasar yang paling kita butuhkan dari seorang partner hidup adalah keimanan dan ketaqwaan. Keluhuran akhlak, ilmu, dan kesetiaan adalah penjabaran detail dari sifat orang yang berimtaq. Singkat kata, orang yang takut kepada Allah, pasti takut menyakiti orang lain, apalagi pasangannya. Maka ketika kita menikah dengan pria sholeh, jika dia mencintai kita, dia akan memuliakan kita. Sebaliknya, jika dia tidak mencintai kita, dia tidak akan mendholimi kita karena begitu takutnya ia kepada Allah, dan sadar akan tanggungjawabnya setelah akad nikah.
Dan ketika imtaq adalah hal mendasar yang kita butuhkan dari pasangan, maka kita pun harus menjadikan diri kita juga sebagai orang yang berimtaq. Sebagaimana kita mendambakannya menjadi imam yang berimtaq, ia pun mendambakan sosok makmum yang berimtaq.
Langkah ketiga, tanamkan keyakinan untuk berkomitmen. Bagaimana menanamkan keyakinan? Tentu kita harus mempunyai kriteria sebagai pertimbangan. Pasangan yang bagaimana yang kita butuhkan untuk menjalani kehidupan bersama di usia dunia yang sudah tua ini? Pasangan yang bagaimana yang sekiranya sevisi dengan kita untuk melahirkan generasi penegak panji-panji keislaman? Pasangan yang bagaimana yang sekiranya mau berusaha bersama kita untuk mendidik putra-putri yang akan menarik tangan kita ke surga? Tetapkan kriteria dan nomor satukan agama. Setelah melewati tahapan kriteria, serahkan proposal kepada-Nya. Hanya Dia yang tahu siapa jodoh kita. Minta petunjuk-Nya, istikharah, ajukan proposal sekaligus minta pertimbangan adakah bagian yang perlu direvisi atau mungkin harus disesuaikan dengan kemampuan kita.
Sekiranya sinyal positif sudah ada, yakini untuk berkomitmen bahwa kita akan sama-sama setia, menghadapi apapun bersama-sama dalam naungan cinta-Nya. Dahulukan komitmen di atas rasa, karena yang cinta belum tentu mampu berkomitmen, namun yang mampu berkomitmen dengan penuh keyakinan, Allah swt akan tumbuhkan cinta itu secara alami. Semoga yang belum menikah didekatkan dengan jodohnya dan dimudahkan jalan persatuannya. Yang sudah menikah diberikan sakinah mawaddah wa rahmah dan mampu menjadi uswah hasanah bagi yang belum menikah. []