RASULULLAH sangat marah. Harits bin Umair, salah seorang utusannya yang bertugas untuk menyampaikan surat kepada Raja Bushra dibunuh ketika sampai di Muktah. Padahal, sudah menjadi kesepakatan di mana pun bahwa seorang utusan tidaklah boleh dibunuh. Bila itu dilakukan, sama artinya dengan mengibarkan bendera perang.
Rasulullah pun bersiap untuk mengirimkan pasukan. Untuk pertama kalinya dalam sebuah perang, Rasulullah menyiapkan tiga orang panglima yang secara bergantian bertugas memimpin pasukan.
BACA JUGA: Keyakinan Kaum Muslimin di Perang Yarmuk
Sebelum berangkat berperang Rasulullah berpesan, “Jika Zaid syahid, maka Ja’far yang menggantikannya. Jika Ja’far syahid, maka Abdullah bin Rawahah penggantinya.” (H.R. Bukhari).
Keluarlah pasukan tersebut menuju Muktah di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah. Peristiwa ini terjadi pada Jumadil Awal tahun ke-8 H. Ketika tiba di Muktah, kaum Muslim terkejut melihat jumlah musuh yang sangat banyak. Disebutkan bahwa jumlah mereka sekitar 200.000 pasukan, sementara kaum Muslim hanya sekitar 3.000 orang. Perbandingan yang tidak seimbang itu membuat hati sebagian pasukan mendadak ciut. Kemudian ada yang mengusulkan agar mereka meminta tambahan pasukan kepada Rasulullah agar pertarungan bisa lebih seimbang.
“Wahai saudaraku sekalian, sesungguhnya kita berperang bukanlah untuk mencari dunia melainkan untuk membawa agama Allah agar berjaya di bumi ini. Yakinlah bahwa jumlah bukanlah penghalang. Sesungguhnya pertolongan Allah itu amatlah dekat. Salah satu dari dua kebaikan pasti akan kita raih. Hidup mulia atau syahid di jalan-Nya,” dengan berapi-api Abdullah bin Rawahah berusaha membangkitkan kembali semangat pasukan Muslim yang turun.
Mereka pun membenarkan semua perkataan Abdullah bin Rawahah. Semangat mereka timbul kembali. Mereka pun siap untuk kembali berjihad di jalan Allah. Bertemulah dua pasukan yang tidak seimbang itu. Dengan gagah berani Zaid bin Haritsah memimpin pasukan kaum Muslim sambil membawa bendera Rasulullah. Zaid bertempur dengan sangat hebat hingga akhirnya menemui syahid setelah terkena senjata musuh.
Melihat Zaid telah syahid, maka Ja’far bin Abi Thalib bergegas mengambil bendera yang sebelumnya dipegang Zaid. Kini ia yang menjadi panglima pasukan, persis seperti yang dikatakan Rasulullah.
Pertempuran kini semakin memanas. Pasukan musuh yang jumlahnya sangat banyak seakan siap menyapu pasukan kaum Muslim. Tapi, hal ini tidaklah menciutkan nyali kaum Muslim. Mereka tetap bertarung dengan gagah berani.
Ja’far yang kini menjadi panglima perang dan memegang bendera tentu saja menjadi sasaran utama musuh berikutnya. la tahu jika bendera ini jatuh, mental pasukannya juga akan jatuh karena kehilangan pimpinan. Sekuat tenaga Ja’far membawa bendera sambil tetap bertarung melawan musuh.
Benar saja, kini musuh menyerbu Ja’far. Mula-mula mereka berhasil menebas tangan kanannya yang membawa bendera. Namun, secepat kilat tangan kiri Ja’far meraih bendera itu sebelum terhempas ke tanah dan kembali menegakkannya. Musuh kemudian berhasil menebas kembali tangan kirinya. Ja’far kini mendekap bendera itu dengan lengannya yang telah buntung. Beliau tak rela bendera Rasulullah terjatuh sementara ia masih hidup. Hingga akhirnya, Ja’far pun meraih syahid setelah kembali belasan tebasan dan tusukan senjata lawan menghujam tubuhnya.
Melihat panglima kedua telah syahid, Abdullah bin Rawahah segera menuju ke arah Ja’far dan menegakkan kembali bendera Rasulullah. Kini, ia menjadi panglima ketiga dalam perang ini. Tak kalah gagah beraninya seperti dua panglima yang telah syahid sebelumnya, Abdullah bin Rawahah maju menerjang serangan musuh. Sebagai seorang pemimpin, ia harus memberi contoh yang baik agar semangat pasukan tidak kendor.
BACA JUGA: Keberanian Ali di Perang Uhud
Sebenarnya jauh di lubuk hatinya, Abdullah bin Rawahah merasa takut melihat kehebatan serta banyaknya jumlah pasukan musuh. Tapi, buru-buru ditepisnya rasa itu dengan melantunkan syair, “Wahai diri, apa yang menyebabkanmu ragu untuk maju. Wahai diri, bukankah setiap jiwa pasti mati dan kau pun akan mati. Bukankah kematian ini yang telah lama engkau impikan? Jalan menuju jannah.”
Tak lama kemudian, Abdullah bin Rawahah pun syahid menyusul Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abi Thalib. Sementara itu di Madinah, Rasulullah menceritakan peristiwa Perang Muktah seolah-olah beliau melihatnya langsung dari tempat kejadian. Rasulullah menceritakan bagaimana ketika Zaid bin Haritsah gugur, kemudian Ja’far bin Abi Thalib, lalu Abdullah bin Rawahah. Bersama dengan para sahabat yang berada di sekeliling Rasulullah, semuanya tak berhenti meneteskan air mata. Tangis kesedihan karena orang-orang terbaik di antara mereka telah pergi terlebih dahulu. Namun, kesedihan itu ditawarkan dengan berita gembira bahwasanya ketiganya telah diterima sebagai syahid. Rasulullah kemudian meminta kaum Muslim agar turut mendoakan ketiga panglima gagah perkasa yang telah menemui syahidnya di medan jihad. []
Sumber: Para Abdullah di Sekitar Rasulullah/ Penulis: Haeriyyah Syamsudin/ Penerbit: Khazanah Intelektual/ 2013