HAJI Agus Salim, siapa yang tak kenal tokoh nasional ini? Dia adalah seorang pemikir, intelektual, tokoh pergerakan dan ulama Islam terkemuka yang pernah ada di Indonesia. Dia bersama HOS Tjokroaminoto dan Abdul Moeis membangun Sarikat Islam. Bahkan, pada 1925, Salim telah aktif berdakwah dengan cara menarik minat mereka yang ada di Jong Islamieten Bond (JIB) untuk mengamalkan ajaran Islam.
Sebelum dikenal sebagai kiai, Agus Salim justru lebih dulu menjadi seorang intelektual. Sehingga, pandangannyanya dalam berbangsa tak lepas dari pemahamannya tentang Islam, begitu juga sebaliknya.
Sebagai tokoh Islam dan tokoh nasional, nama Agus Salim tak kalah beken dari proklamator Indonesia Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Namun, tahukah bahwa Salim pernah ‘dilirik’ oleh seorang tokoh sekelas RA. Kartini?
BACA JUGA: Ketika KH Agus Salim dan Sutan Takdir Berbincang soal Sembahyang
Apa yang membuat tokoh emansipasi wanita itu menaruh perhatian khusus pada Salim? Jawabannya, bisa ditemukan dalam penggalan surat yang ditulis RA Kartini kepada JH abendanon tertanggal 24 Juli 1903. Saat itu Salim baru lulus dari Hogere Burger School (HBS).
HBS adalah sekolah pada masa kolonial. Tak semua pribumi bisa bersekolah di sana. Saat Kartini menulis surat tersebut, Agus Salim belum menjadi ‘seseorang’ dalam catatan sejarah Indonesia.
Berikut ini penggalan surat RA Kartini tersebut:
“Kami tertarik sekali pada anak muda ini. Kami ingin melihat dia dikaruniai bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia orang Sumatra asal Riau yang pada tahun ini mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara dari ketiga-tiga HBS!
Anak muda itu ingin sekali pergi ke negri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali keadaan keuangnnya tidak memungkinkan. Gaji ayahnya Cuma f 150 sebulan. Jika dikehendaki rasanya mau dia bekerja sebagai kelasi kapal, asalakan boleh ia berlayar ke negeri Belanda.
Alangkah indahnya andai pemerintah bisa membiayai seluruh pendidikannya yang berjumlah kira-kira 8.000 Gulden. Bila tidak mungkin, kami akan berterima kasih, apabila Salim dapat menerima 4.800 Gulden yang disediakan oleh kami itu. Untuk sisa kurangnya kami dapat meminta bantuan orang lain.”
Itulah salah satu hal yang membuat RA Kartini menaruh perhatian khusus kepada pemuda berotak cerdas bernama Salim. Tentu sangat disayangkan, bila saat itu kecerdasannya harus lumpuh dan cita-citanya pupus hanya karena terhimpit persoalan ekonomi.
RA Kartini menyampaikan hal itu kepada sahabatnya di Belanda sebagai usaha agar Salim, pemuda harapan bangsa itu, bisa mengembangkan dirinya dan memberikan kemanfaatan yang besar bagi bangsa Indonesia.
“…Banyak sekali yang dapat dilakukan Salim sebagai dokter untuk rakyatnya. Dan, sesungguhnyalah idaman Salim untuk bekerja bagi rakyat kita,” demikian kata RA Kartini dalam suratnya.
Lebih dari itu, tokoh wanita yang berperan besar dalam pendidikan di Indonesia itu mengatakan bahwa Salim tak mengetahui perihal surat yang ditulisnya.
“…Salim sendiri tidak tahu apa-apa. Dia tidak tahu eksistensi kami malah. Yang diketahuinya hanyalah bahwa dengan sepenuh hati ingin ia menyelesaikan pelajarannya, agar kemudian dapat bekerja untuk rakyatnya. Dan, ia juga sadar bahwa itu suatu idaman mustahil karena ia tidak mempunyai dana.”
Apa hasilnya?
BACA JUGA: Ketika Haji Agus Salim Dihina karena Berjenggot
Lima puluh tahun kemudian, seorang Agus Salim sudah menjadi tokoh yang dikenal di dunia internasional. Namun, tak seperti yang diharapkan RA Kartini didalam suratnya. Salim tak pernah melanjutkan studinya ke negeri Belanda karena terhalang oleh statusnya sebagai pribumi.
Dia justru banting stir jadi seorang penerjemah di Konsulat Belanda yang berada di Jeddah, Arab Saudi. Di sanalah, Salim yang seorang intelektual itu mendalami ajaran Islam. Di sana dia belajar pada pamannya, Syeikh Ahmad Khatib, imam sekaligus guru mazhab Syafii di Masjidil Haram.
Agus Salim yang menjelang kemerdekaan turut berperan di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), kemudian masuk ke partai Masyumi di masa kemerdekaan.
Masyumi merupakan partai politik beraliran Islam pertama yang ikut serta dalam pemilu di Indonesia. []
Sumber: Pesan-Pesan Islam, Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University Amerika Serikat/Penulis: Hadji Agus Salim/Penerbit: Mizan Pustaka/Tahun: 2014