Yangoon—Bentrok di pos polisi pada 25 Agustus 2017 lalu, ternyata dijadikan dalih kaum nasionalis Buddha Myanmar untuk membentuk opini buruk terhadap rohingya.
Beberapa hari pasca bentrokan berdarah di Rakhine pada bulan Agustus tersebut, biksu Ahsin Wirathu muncul dalam sebuah demonstrasi di depan Balai Kota Yangoon. Pemimpin kelompok Ma Ba Tha itu, menyuarakan ketakutannya akan Islamisasi di Myanmar.
“Kami pernah ke beberapa sekolah menengah di Maungdaw dan kami tidak melihat orang-orang etnis kami di sekolah-sekolah ini,” ujar Wirathu merujuk pada salah satu dari tiga kota utama di Negara Bagian Rakhine utara yang menjadi wilayah operasi militer di sana.
“Semuanya mahasiswa Bengali. Akankah dunia tahu siapa mayoritas atau siapa minoritas saat melihat kondisi itu?”
Pernyataan Ahsin Wirathu tersebut dimuat dalam surat kabar mingguan mereka, Aung Zay Yatu, yang memiliki slogan “Ras dan Agama Harus Ada Sampai Dunia Berakhir.”
Pada terbitan 1 September di Aung Zay Yatu, ditulis berita utama dengan judul “Bahaya Berbeda bagi Muslim Bengali”. Surat kabar itu juga menampilkan sesi wawancara dengan Ashin Wirathu.
Pemimpin redaksi koran Aung Zay Yatu, Maung Thway Chun, mengklaim bahwa Ahsin tidak memiliki kebencian terhadap muslim dan juga memiliki teman-teman muslim, namun ancaman “Islamisasi” adalah sebuah masalah baginya.
“Kami tidak menindas muslim, dan kami mengenali keberadaan mereka. Tapi kita tidak ingin umat Islam menelan negara kita. Mereka tidak akan selesai dengan menyerang hanya Rakhine. Mereka juga akan menyerang wilayah Chin State atau Irrawaddy,” kata Maung merujuk pada dua negara bagian yang terletak di selatan dan timur laut Rakhine State.
“Kalau begitu negara ini akan menjadi negara muslim. Sungguh memalukan bagi kita bahwa tanah yang kita warisi dari generasi kita sebelumnya akan hilang pada zaman kita.”
Sementara itu seperti dilansir dari The Atlantic (7/9/2017), Francis Wade, penulis buku Buddhist Violence and Making of a Muslim Other, mengatakan ada kecemasan yang dirasakan oleh para Buddhis yang bersifat materialistis. Kecemasan bahwa Rohingya akan mengambil alih tanah dan sumber daya lainnya. []
Sumber: The Atlantic.