PERANG Yamamah sedang berkecamuk hebat. Abu Hudzaifah di barisan depan berseru lantang “Wahai para penghafal Al-Qur’an, hiasilah hafalan kalian dengan amal kalian!”.
Dalam sekejap, Abu Hudzaifah menerjunkan dirinya ke dalam peperangan. Abu Hudzaifah dengan pedangnya bergerak ke sana kemari bagaikan kilatan petir, pasukan kaum Muslimin pun bangkit kembali semangatnya. Mereka merengsek maju dengan mengumandangkan takbir. Pasukan Bani Hanifah yang kala itu dipimpin Musailamah memberikan perlawanan sengit.
Tak jauh dari Abu Hudzaifah, Salim pun tak mau kalah. Dengan gagah berani, ia acungkan pedangnya lalu menerobos barisan musuh.
BACA JUGA: Abu Uqail, Orang Pertama yang Terluka di Perang Yamamah
Salim awalnya adalah budak milik abu Hudzaifah, karena itu orang-orang memanggilnya Salim maula Abu Hudzaifah. Namun setelah Salim yang mulanya mengenalkan dan mengajarkan agama tauhid yang dibawa Rasulullah kepada Abu Hudzaifah, Abu Hudzaifah pun begitu antusias dan bersemangat untuk mempelajarinya. Yang kemudian dari situlah hubungan Abu Hudzaifah dengan Salim semakin menumbuhkan cinta dan kasih sayang yang pada akhirnya Abu Hudzaifah mengangkat Salim menjadi anaknya. Nama Salim pun berubah menjadi Salim bin Abu Hudzaifah.
Beberapa waktu kemudian, turunlah ayat yang melarang pemakaian nama anak kecuali dikaitkan dengan nasabnya. Anak angkat Rasulullah, Zaid, yang semula mendapat nama Zaid bin Muhammad lantaran diangkat menjadi anak oleh beliau. Kembali diganti menjadi Zaid bin Haritsah, sesuai dengan nama bapak kandungnya.
Meski begitu, Abu Hudzaifah tidak pernah memperlakukan Salim seperti seorang budak. Mereka berdua begitu akrab sebagai sahabat karib dan menjadi saudara dalam Islam. Islam telah mengangkat derajat Salim menjadi manusia merdeka dan Abu Hudzaifah menjadi lelaki yang berderajat mulia karena memerdekakan Salim dan mengangkatnya menjadi saudara. Mereka pun saling mengasihi satu sama lain, berjuang bersama mengikuti perang demi perang.
Ketika pasukan Musailamah semakin sengit memberikan perlawanan, beberapa dari mereka akhirnya dapat mengepung Salim. Salah satu di antara mereka berhasil menebas lengan kanan Salim hingga terputus. Dalam kondisi itu ia tetap berjuang seraya mengumandangkan ayat Allah, “Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali ‘Imran [3] Ayat : 146)
Musuh pun semakin geram mendengarnya, salah seorang dari mereka kembali menebas lengan kirinya. Belum puas sampai di situ, mereka pun menyerang Salim hingga akhirnya ia roboh.
Ketika perang berakhir, para sahabat menemukan Salim dalam keadaan terluka parah. Darah menggenang di tanah dan sekujur tubuhnya.
BACA JUGA: Pemuda Tampan di Perang Uhud
“Dimanakah Abu Hudzaifah? Bagaimana nasibnya?” tanya Salim tanpa peduli dengan keadaannya sendiri.
“Abu Hudzaifah telah syahid, wahai Salim…” kata salah seorang sahabat.
“Tolong baringkan aku di sampingnya,” pinta Salim.
“Abu Hudzaifah syahid di sini, dia di sampingmu.” jawab sahabat.
Salim tersenyum, sekilas dalam pandangannya yang kabur, ia melihat bekas majikan yang telah memerdekakannya, mengangkatnya sebagai anak, kemudian menjadi sahabat karibnya.
Kini, dua sahabat itu telah berjuang dan menempuh peperangan fisabilillah bersama-sama, mereka juga bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju Surga. []
Sumber: al-Qudwah publishing, 77 Cahaya Cinta Madinah, Kisah Cinta Paling Mengharukan Para Sahabat., hal 56, 57, 58.