“Ma Ndet, aku udah punya bayi lho, cewek, sekarang aku mau nengok ke Rumah Sakit,” sorak adik kepada tetangga kami.
“Alhamdulillah, sekarang teteh ya dipanggilnya, bukan adik lagi,” tukas tetangga kami.
BACA JUGA:Â Mang, Jangan Banyak Mengeluh yaa…
“Iya, aku sekarang jadi teteh. Ma Ndet, kalau adik aku pulang, gak boleh ngasih amplop atau kado ya, itu kan adik aku,” ketusnya.
“Iya, nggak,” jawabnya seraya senyum kepada adik.
Rumah kami terletak dilingkungan perkampungan. Banyak tradisi kampung yang kadang memberatkan. Salah satunya tradisi amplopan. Padahal kadang untuk iuran ngaji perbulan lima ribuan ke madrasah terdekat saja mereka keberatan.
Setiap ada bayi baru lahir, amplop harus disiapkan. Ada tetangga sunat anak, pun demikian. Belum lagi jika layatan kematian apalagi pesta pernikahan. Bahkan terkadang mendatangi kerabata atau tetangga yang akan umroh mauoun hajian amplop tak boleh ketinggalan.
Ya, itulah tradisi amplopan di kampung kami. Cukup memberatkan warga yang kadang masih kekurangan untuk sekadar sesuap nasi. Namun apa daya jika mereka tak ikut tradisi akan dihantui caci maki.
Kami, ingin sekali memberi sebuah kontribusi. Salah satunya melalui kelahiran putri ketiga kami di hari kartini. Setiap tetangga yang datang dilarang membawa amplop pun berupa barang. Mereka nampak sungkan, namun kami tetap meyakinkan bahwa kami bahagia dikunjungi dan didoakan.
BACA JUGA:Â Â Catatan Hati Seorang Ibu
Bukan menunggu dan akan berhitung berapa pemberian tetangga yang bisa didapatkan. Jika demikian ingat saat seorang sahabat menikahkan putrinya. Tak ada lumbung dimana mana. Pernikahan yang begitu bersahaja. Itulah kali pertama kami tersadarkan, bahwa tradisi amplopan begitu memberatkan warga perkampungan. []