ADA beragam tradisi sambut Raadhan di berbagai negara. Salah satu yang paling umum adalah perayaan dengan suguhan makanan khas. Di Mesir misalnya, beberapa makanan dikhususkan untuk menyambut bulan ini, seperti; Kinafah, Qamaruddin, kue kering, Al Yamisy dan yang lainnya. Di Indonesia pun ada makanan yang identik sekali dengan Ramadhan, yakni kolak dan timun suri.
Namun, jika ditelisik dari sisi sejarah, tidak ada tuntunan sunah terkait hal ini. Lantas, apakah tradisi semacam itu termasuk bentuk bid’ah?
Dikutip dari Islamqa, kebiasaan sebagian orang dengan mengkhususkan bulan Ramadhan dengan makanan tertentu, seperti manisan atau yang lainnya, tidak masalah dan tidak masuk ke dalam ranah bid’ah; karena mereka tidak mendekatkan diri kepada Allah dengan pengkhususan tersebut, hal terebut hanya masuk pada kategori kebiasaan/budaya.
BACA JUGA: Tidak Ada Contohnya, Bid’ah?
Bid’ah itu adalah mendatangkan sesuatu yang baru dalam agama, berdasarkan sabda Nabi:
من أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رواه البخاري 2697 ، ومسلم 1718
“Barang siapa yang mendatangkan yang baru dalam urusan (agama) kami ini apa yang tidak ada di dalamnya, maka tertolak”. (HR. Bukhori: 2697 dan Muslim: 1718)
Dan sabda Nabi:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
رواه مسلم 1718
“Barang siapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada perintah kami maka tertolak”. (HR. Muslim: 1718)
Bid’ah idhofiyah sebagaimana ucapan Imam Syathibi:
Metode baru yang dibuat dalam agama, untuk menyaingi dalam syariat. Dimana prilakunya itu seperti berprilaku dalam agama.
Termasuk di dalamnya adalah berkomitmen dengan ibadah-ibadah tertentu, pada waktu-waktu tertentu, yang belum ada penentuannya di dalam syariat, seperti komitmen dengan puasa nisfu sya’ban dan qiyamul lail pada malam harinya.” (Al I’tisham: 1/51)
Adapun komitmen dengan kebiasaan tertentu, pada waktu tertentu, maka tidak masuk dalam kategori bid’ah.
Dan di dalam Shahih Bukhari: 5403 dari Sahl bin Sa’d berkata:
“Sungguh kami berbahagia pada hari Juma’t, kami mempunyai orang tua yang mengambil tunas as Silq (tanaman sejenis umbi), yang diletakkan dibejana miliknya, lalu dicampur dengan beberapa biji gandum, jika kami telah melaksanakan shalat kami mencicipinya seraya ia dekatkan kepada kami, dan kami selalu bahagia pada hari Jum’at karena hal itu dan apa yang kami makan, dan kami tidak tidur qailulah kecuali setelah shalat Jum’at, demi Allah tidak ada lemak”.
BACA JUGA: Mengangkat Tangan ketika Berdoa, Bid’ah?
Di dalam hadits ini bahwa sahabiyah membuat makanan ini khusus pada hari Jum’at, dan para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mereka menunggu-nunggu hari Jum’at dan berbahagia karenanya, untuk mendapatkan makanan tersebut darinya.
Lalu apakah hal ini dikatakan sebagai bid’ah? Atau apa bedanya antara apa yang dibuat pada bulan Ramadhan dan apa yang biasa dilakukan oleh para sahabat Nabi pada hari Jum’at?
Syeikh Muhammad bin Ibrohim berkata:
“Kalau saja mereka mendengar apa yang dikatakan tentang kebiasaan-kebiasaan sebagai bid’ah baru, maka semua hal yang tidak ada pada masa Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan masa para sahabat dari mulai makanan, minuman, pakaian, kendaraan, semua sarana kehidupan dan apa yang muncul setelah masa tersebut dianggap bid’ah dan mungkar semuanya.”
Pendapat seperti itu sangatlah tidak relevan dan batil dan termasuk kebodohan terhadap ushuluddin dan tujuan-tujuannya.
Ucapan Rasul tentang makna bid’ah begitu jelas dan terang.
Tidak ada yang samar-samar bagi mereka yang cerdas dan faham, bahwa maksud dari sesuatu yang baru itu tertolak adalah apa yang ada di dalam agama, seperti penambahan di dalamnya, atau komitmen dengan tariqat (cara) yang Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak berkomitmen dengannya.” (Fatawa Syiekh Muhammad bin Ibrohim: 2/128)
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
“Perbedaan antara ibadah dan adat, bahwa ibadah itu apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya untuk mendekatkan kepada Allah dan mengharap pahala dari-Nya.
Adapun adat adalah apa saja yang menjadi kebiasaan di antara manusia, seperti makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian, kendaraan, interaksi sesama, dan yang serupa dengannya.
Ada juga perbedaan lain, bahwa ibadah itu hukum asalnya adalah dilarang dan haram, sampai ada dalil yang menyatakan bahwa hal itu sebagai ibadah, berdasarkan firman Allah:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ الله
الشورى/21
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”. (QS. Asy Syura: 21)
Adapun adat hukum asalnya adalah halal, kecuali ada dalil yang melarangnya.
Atas dasar inilah, jika manusia terbiasa dengan sesuatu, sebagian orang berkata kepada mereka: “ini hukumnya haram, karena hal itu membutuhkan dalil”, maka dikatakan: “Mana dalil yang menyatakan bahwa hal itu haram ?”
Adapun ibadah: Jika dikatakan kepada seseorang, ibadah ini bid’ah, ia berkata: “bukan bid’ah”, maka kami katakan kepanya: “Mana dalil yang menyatakan bahwa hal itu bukan bid’ah ?; karena hukum asal dari ibadah adalah dilarang sampai ada dalil yang menyatakan bahwa hal itu yang disyari’atkan.” (Liqo Al Bab Al Maftuh: 2/72)
BACA JUGA: Bagaimana Para Ulama Salaf dan Khalaf Terjatuh dalam Bid’ah?
Beliau juga berkata:
“Bid’ah itu rambu-rambunya menurut syari’at adalah beribadah untuk Allah dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh-Nya”.
Atau jika anda mau maka katakanlah:
“Beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak dilakukan oleh Nabi dan para khalifah empat itu”.
Maka semua orang yang beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh-Nya, atau dengan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi dan para khalifah yang empat, maka ia adalah ahli bid’ah, baik peribadatan tersebut berkaitan dengan Nama-nama Allah dengan sifat-sifat-Nya, atau dalam hal yang berkaitan dengan hukum dan syari’at-Nya.
Adapun perkara yang menjadi kebiasaan yang mengikuti budaya, maka hal ini tidak dinamakan bid’ah dalam agama, meskipun tetap dinamakan bid’ah secara bahasa, akan tetapi bukan bid’ah dalam agama, dan bukan termasuk yang diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.“ (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin: 2/292) []
SUMBER: ISLAMQA