Oleh: Jajang Nurjaman
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI
nurjamanjajang581@gmail.com
ASCARYA (2007 dalam Suganda 2005) mengatakan bahwa tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir dengan harga dan pembayaran tunai.
Harga tunda lebih tinggi dari harga tunai, sehingga pembeli pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran tunda. Selain itu, Ahmad Ifham Sholihin mengartikan tawarruq; penguatan asset yaitu jual beli asset yang dilakukan secara tangguh dengan pembeli menjual kembali asset itu secara tunai kepada pihak ketiga (Suganda, 2015).
Sebenarnya tawarruq yang terjadi pada masa salaf berbeda dengan tawarruq pada masa sekarang. Tawarruq murni disebut dengan tawarruq fiqih atau clasical tawarruq, sedangkan tawarruq yang diterapkan saat ini adalah tawarruq munadzon atau organized tawarruq (Sahroni, 2019).
Menurut standar syariah AAOIFI, substansi tawarruq munadzan adalah sebuah perbankan menjual komoditi dari pasar komoditi intenasional atau yang lainnya kepada pembeli dengan harga tidak tunai, kemudian bank tersebut berkewajiban – baik disyaratkan dalam akad, atau karena kebiasaan, – mewakili membeli untuk menjualnya kembali kepada pembeli lain dengan harga tunai dan menyerahkan uangnya kepada pembeli pertama (Sahroni, 2019).
Tawarruq merupakan transaksi yang masih diperdebatkan, ada ulama yang membolehkan transaksi tersebut dan ada pula yang melarangnya. Berikut ini beberapa pendapat ulama mengenai tawarruq (Suganda, 2015).
No. | Ulama | Pendapat | Alasan |
1. | Jumhur Ulama | Boleh | Diartikan sebagai jual beli |
2. | Bin Baz | Boleh | Berbeda dengan bai ‘innah dan memudahkan serta memungkinkan masyarakat memenuhi kebutuhannya |
3. | Ibnu Uthaimeen | Boleh | Merupakan salah satu jenis pinjaman yang diperbolehkan dengan membeli suatu butir untuk suatu pembayaran angsuran, kemudian menjualnya kepada orang lain |
4. | Ibnu Taimiyah | Dilarang | Sama dengan bai’ ‘innah. Tetapi dapat menjadi boleh apabila memenuhi syarat berikut: – Seseorang sedang dalam kekurangan uang. Jika tidak kekurangan uang maka tidak diizinkan – Ketika kontrak tidak meliputi format riba – Eminjam tidak menjualnya sampai ia telah menempati tentangnya dan memindahkan kepemilikannya. Karena Rasulullah SAW., melarang penjualan sesuatu butir sebelum pedagang pindah gerak |
5. | Abu Hanifah | Dilarang | Boleh, jika melibatkan pihak ketiga (bukan sale and buy back) |
Sumber: Ascarya (2007) dalam Suganda (2015) dan sudah dimodifikasi olehnya
DSN-MUI sebagai lembaga pengambil keputusan mengenai transaksi syariah di Indonesia memberikan pendapat bahwa, tawarruq di Indonesia masih dikaji karena terdapat berbagai aspek-aspek yang memerlukan peninjauan lebih dalam lagi, dari data-data yang diperoleh dari lapangan sampai pada teori-teori para ulama terdahulu antara khilafiyah dan mashlahah yang terkandung dalam transaksi tawarruq pada muamalah maliyah.
Sampai saat ini tawarruq belum dibolehkan atas dasar sadduzzarai’ dengan tujuan menutup pintu yang menuju kepada zari’ah. Tetapi, apabila zari’ah tersebut dapat dihilangkan maka praktik tawarruq akan diperbolehkan (Suganda, 2015).
Menurut standar syariah internasional, tawarruq munadzan itu hanya dibolehkan ketika ada kebutuhan, diantarnya mengatasi likuiditas antar bank.
Misalnya standar AAOIFI menegaskan bahwa; tawarruq bukan produk investasi atau pembiayaan,karenanya LKS tidak diperbolehkan menjadikan awarruq untuk keperluan mobilisasi dana sebagai alternatif dari produk mudharabah, wakalah bil istitsmar, menerbitkan sukuk dan lain-lain. LKS hanya boleh menggnakan tawarruq karena al hajah, di antaranya menutupi kekurangan likuiditas dan meminimalisir resiko likuiditas lembaga-lembaga keuangan syariah (Sahroni, 2019) []
Referensi
Sahroni, O. (2019). Fikih Muamalah Kontemporer . Jakarta: Republika Penerbit.
Suganda, A. D. (2015). Analisis Teori Bai’ Tawarruq dalam Muamalah Maliyah. Jurnal Islamiconomic, 1-14.