Oleh: Rizki Sofrul Khoiri
Mahasiswa S-1 Jurusan Pendidikan Agama Islam (Semester 4),UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, rizkisofrulkhoiri1797@gmail.com
Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sehingga hal tersebut juga berdampak pada munculnya permasalahan fiqh yang baru dan fatwa-fatwa kontemporer, yakni salah satunya adalah praktik transplantasi organ tubuh manusia.
Pertanyaannya, bagaimana hukum seseorang yang mendonorkan organ tubuhnya kepada orang lain dalam pandangan fiqh?
Maka sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita bahas dahulu bagaimana kedudukan atau pandangan fiqh mengenai organ tubuh manusia.
Dalam hal ini, kita perlu sadari bahwa apapun yang ada dalam tubuh maupun kehidupan kita, semua itu adalah titipan dari Allah SWT, yang mana kita harus memanfaatkannya untuk beribadah dan selalu menjaganya. Maka,secara tidak langsung Allah SWT telah memberikan kita sebuah kewenangan untuk mengatur dan menggunakannya dengan sebaik mungkin sebagaimana harta. Singkatnya, seluruh organ tubuh dalam diri manusia sejatinya adalah harta yang harus dijaga dan dimanfaatkan oleh manusia.
Dalam Q.S. An-Nur ayat 33, Allah SWT berfirman:
“…dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah SWT yang dikaruniakan-Nya kepadamu…”. Dari ayat tersebut, sudah jelas bahwa kita berhak menggunakan ataupun memberikan harta kita kepada siapapun yang kita inginkan. Akan tetapi, kita juga harus paham bahwasannya dalam melakukan suatu amal, hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah adanya suatu maslahat dan mafsadat.
Dalam Ushul Fiqh kita mengenal adanya kaidah yang berbunyi:
الضرر لا يزال بالضرر
“Kerusakan tidak bisa dihilangkan dengan kerusakan.”
Makna dari kaidah diatas adalah, dalam menghindari suatu mafsadat atau mudharat tidak bisa dilakukan dengan mendatangan suatu mafsadat atau mudharat yang sama, atau bahkan lebih besar. Maka, seseorang yang masih hidup tidak diperbolehkan untuk mendonorkan suatu organ tubuh yang hanya ada satu saja dalam tubuh, seperti jantung.
Lalu bagaimana hukum seorang mayit yang berwasiat untuk mendonorkan organ tubuhnya ketika sudah meninggal?
Jawabannya pun sederhana, yakni apabila manusia yang masih hidup saja berhak atau boleh mendonorkan organ tubuhnya, maka bagi seorang mayit pun juga boleh melakukannya.
Karena, ketika ia meninggal dunia maka tubuhnya juga tidak akan bertahan lama dalam tanah karena adanya penguraian oleh bakteri. Maka, jika kita pikir kembali, keadaan tersebut akan lebih memberikan manfaat apabila organ-organ si mayit yang masih berfungsi dengan baik dan sehat, dapat digunakan oleh orang yang masih hidup. Maka hal ini akan menjadi salah satu bentuk amal jariyah bagi si Mayit apabila organ tubuhnya ia berikan kepada seorang muslim yang shalih dan taat beragama.
Dalam syari’at sendiri, tidak ada satu pun dalil yang mengharamkan perbuatan demikian. Karena seperti yang kita kenal dalam salah satu kaidah Ushul fiqh yang mengatakan, bahwa:
ﺍَﻷَﺻْﻞُﻓِﻰﺍْﻷَﺷْﻴَﺎﺀِﺍْﻹِﺑَﺎﺣَﺔﺣَﺘَّﻰﻳَﺪُﻝَّﺍْﻟﺪَّﻟِﻴْﻞُﻋَﻠَﻰﺍﻟﺘَّﺤْﺮِﻳْﻢِ
“Hukum asal dari sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)”. (Imam As Suyuthi, dalam al Asyba’ wan Nadhoir: 43).
Maka dari kaidah tersebut kita dapat mengetahui bahwasannya hukum mayit yang mendonorkan bagian tubuhnya kepada orang yang masih hidup adalah boleh.
Akan tetapi, kebolehan tersebut juga memiliki kesamaan dengan hukum donor bagi orang yang masih hidup, yakni kebolehan yang Muqayyad (bersyarat). Lalu apa syarat kebolehannya tersebut?
Sebelum kita membahasnya, ada sebuah hadits yang berbunyi:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ, صلى الله عليه وسلم ,قَالَ: كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ عَلَى شَرْطِ مُسْلِم ٍ وَزَادَ ابْنُ مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ: فِي الْإِثْم
“Dari Aisyah radhiyallaahu anha beliau berkata: Mematahkan tulang mayit seperti mematahkan tulangnya saat hidup (riwayat Abu Dawud dengan sanad sesuai syarat Muslim). Dalam lafadz Ibnu Majah dari hadits Ummu Athiyyah ada tambahan: dalam hal dosa”.
Hadits diatas memiliki makna bahwa tubuh mayit harus tetap dijaga keutuhannya dan tidak diperbolehkan untuk di rusak. Hal tersebut yang mungkin akan digunakan sebagai hujjah dalam hal larangan mendonorkan organ tubuh bagi seorang mayit.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwasannya mengambil sebagian organ dalam tubuh mayit tidak akan sampai merusak tubuh si Mayit, karena prosedur pengambilan organ tersebut melalui tindakan operasi yang dilakukan dengan seperti mengoperasi orang yang masih hidup. Jadi bisa dipastikan bahwa tubuh si Mayit tidak akan rusak dan kehormatannya tetap terjaga. Dengan demikian, menjaga kehormatan tubuh si Mayit dengan tidak merusaknya adalah kebolehan bersyarat (Muqayyad) yang harus dipenuhi dalam perkara ini.
Sementara itu, mungkin beberapa golongan ada yang menolak masalah ini karena alasan bahwa para Ulama’ Salaf dan bahkan zaman Rasulullah SAW pun tidak diperbolehkan seorang mayit mendonorkan organ tubuhnya. Argumen tersebut memang tepat, akan tetapi perlu kita sadari, bahwasannya dengan semakin berkembangnya IPTEK, maka permasalahan fiqiyah yang baru pun juga bermunculan. Oleh sebab itu, diperlukan suatu ijtihad yang baru untuk memberikan fatwa-fatwa yang sesuai.
Pada intinya, transplantasi organ atau memberikan organ tubuh bagi orang yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia hukumnya adalah boleh tetapi dengan syarat (muqayyad). Syarat tersebut adalah proses transplantasi organ tidak akan menimbulkan mafsadat yang lebih besar kepada pendonor, dan bagi mayit transplantasi organ tersebut tidak akan merusak tubuh dan tetap menjaga kehormatannya. Wallahu a’lam bis showab. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.