ALKISAH, terdapat sebuah lingkungan yang masyarakatnya rukun dan damai, saling menghormati dan menghargai bahkan saling mencintai. Kemudian mereka memperdalam ilmu agama dengan belajar kepada guru agama agar semakin mengerti dan memahami agama.
Setelah sekian lama belajar agama dan mereka semakin mengenal agama -menurut mereka- , maka yang terjadi adalah; mereka tidak rukun dan damai lagi, tidak ada saling menghargai dan menghormati, bahkan terjadi saling membenci diantara mereka. Padahal mereka semua adalah orang Islam, beriman dan bahkan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Sungguh aneh dan memprihatinkan sekali! Agama bukan menjadikan mereka semakin baik, tapi justru menjadikan mereka semakin buruk dan rusak. Belajar agama bukan semakin lembut dan kasih sayang, tapi semakin buas dan kasar kepada saudaranya sendiri!
Yakinlah seyakin-yakinnya, bahwa siapa saja yang seperti itu pasti ada yang salah dalam cara beragamanya.
Islam adalah agama yang indah dan luas selama kita tidak terperangkap dalam kotak kecil, berupa kelompok yang berpemahaman sempit, apapun nama dan label kelompok tersebut.
Jika kita sudah terperangkap dalam kotak kecil maka hilanglah indahnya Islam dan berubah menjadi agama kebencian lagi penuh kegelapan.
Al-Imam Al-Ghazali rahimahullah dalam kitabnya “Ihya’ Ulumiddin” menyebutkan bahwa diantara pintu masuk setan yang besar adalah; FANATIK GOLONGAN. Karena orang yang telah kerasukan fanatik golongan pasti akan membenci, memusuhi bahkan menzalimi siapa saja yang berbeda, dan meremehkan serta merendahkan. Ini adalah sifat buruk dan termasuk perkara yang membinasakan.
Siapa saja bisa menunggangi agama dengan bertabur dalil dan argumentasi untuk memuaskan nafsu dan kepentingannya.
Agama bisa menjadi alat paling berbahaya, mematikan dan menghancurkan, jika disalahgunakan. Semuanya bisa mengatasnamakan agama; membunuh, menipu, dan lain-lain.
Jangan salahkan orang yang membenci agama dan trauma dengan agama, jika kita adalah penyebabnya!
BACA JUGA: Imam Asy-Syafi’i Menolak Pluralisme Agama
Menuntut ilmu jauh ke luar negeri dan bergelar tinggi tidak menjamin wawasan seseorang itu luas. Pengalaman masa lalu, buku-buku yang dibaca, dan guru-guru yang mengajari, kesemuanya itu akan berpengaruh dalam pemahaman keagamaan seseorang.
Kita jangan hanya fokus menghitung jumlah jama’ah kita yang terus bertambah, tapi melupakan bahwa tidak sedikit orang Islam yang meninggalkan agamanya, atau membenci agamanya sendiri.
Terus, solusinya?
Kita harus kembali ke agama langit yang suci dengan mengoreksi cara berIslam kita, dan selektif dalam memilih guru agama. Ilmu dan literatur harus benar dan bisa dipertanggungjawabkan, berwawasan luas, dibarengi keikhlasan lahir batin, jauh dari kepentingan dan hawa nafsu.
Jika kita sudah lakukan semua ini, pasti agama menjadi teduh, sejuk, mencerahkan, mencerdaskan, dan memberikan kedamaian serta kebahagiaan.
Islam itu indah dan keren, menyenangkan dan solusi.
Dengan non muslim saja kita diperintahkan untuk berbuat baik selama mereka tidak memerangi kita, bagaimana pula dengan sesama muslim?
Allah berfirman:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Qur’an, surat 60 Al-Mumtahanah, ayat 8)
Bukankah kita adalah bersaudara?
Allah berfirman:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (Al-Qur’an, surat 49 Al-Hujurat, ayat 10)
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Sesama muslim itu bersaudara.” (Hadits shahih riwayat Imam Muslim)
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menjadikan seseorang semakin dekat dengan Allah, semakin mulia adab dan akhlaknya, semakin bersih hatinya, semakin terjaga lisan dan tulisannya serta semakin baik dan terpuji hubungannya dengan manusia apalagi sesama muslim mukmin.
Ilmu itu luas bagai lautan tak bertepi. Karena itulah Allah perintahkan kita selalu berdoa kepada Allah memohon tambahan ilmu sebagaimana FirmanNya dalam Kitab Suci Al-Qur’an surat 20 Thaha ayat 114;
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.”
BACA JUGA: Benarkah Bermadzhab Tercela?
Diantara nasehat Fadhilatusy Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid rahimahullah dalam kitabnya “Hilyah Thalibil Ilmi”;
“Waspadalah menjadi “Abu Syibrin” atau “Bapak Sejengkal”!, Karena sungguh telah dikatakan bahwa; ilmu itu tiga jengkal.
Barangsiapa masuk jengkal pertama ia akan sombong.
Barangsiapa masuk jengkal kedua ia akan tawadhu (rendah hati).
Barangsiapa masuk jengkal ketiga ia menyadari bahwa ia tidak mempunyai ilmu.”
Jadi, orang berilmu yang ilmunya luas itu jauh dari kesombongan, semakin tawadhu dan menyadari bahwa ilmu itu luas ibarat lautan tak bertepi sehingga ia mengakui bahwa ilmunya masih sangat kurang dan terus belajar, belajar dan belajar.
Agama bukan hanya menampilkan simbol-simbol fisik dan pakaian, yang kosong dari nilai-nilai suci, luhur dan akhlakul karimah.
Saudara-saudaraku yang saya cintai karena Allah, apabila terjadi perbedaan pendapat, ketimbang harus emosional, alangkah baiknya jika pikiran masing-masing pihak dikomunikasikan dengan baik, lalu didiskusikan santai sambil minum kopi layaknya orang dewasa yang memiliki basis moral akhlakul karimah dan intelektual Islami.
Mari belajar menghargai dan menghormati yang berbeda, berusaha memahami sudut pandang yang berbeda, tanpa merasa paling pintar, paling tahu, dan klaim-klaim yang menjerumuskan dalam kesombongan dan ujub tanpa disadari.
Ingat, kita adalah sesama muslim, mukmin, bahkan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Ya Allah, kami memohon kepadaMu kejujuran dan keikhlasan dalam ucapan dan perbuatan sampai kami berjumpa denganMu dalam keadaan husnul khatimah, aamiin ya Robb. []
Akhukum Fillah
Abdullah Sholeh Hadrami
Ingin download video, audio dan tulisan serta info bermanfaat ? Silahkan bergabung di Channel Telegram:
Channel YouTube: