Keberhasilan dakwah dan upaya membangun mu’amalah (hubungan) yang baik di masyarakat ditentukan oleh banyak faktor –setelah kehendak Allah-, salah satunya trik-trik dakwah yang digunakan. Hal ini memegang peranan yang sangat penting. Ibarat berniaga, untuk menarik pembeli agar berkenan membeli barang dagangan, dibutuhkan berbagai kiat untuk mewujudkannya. Barang yang bagus bisa jadi tidak atau kurang laku, karena kiat yang dipakai tidak tepat.
Berikut, kami ingin berbagai trik-trik dakwah di masyarakat berdasarkan pengalaman pribadi kami dari mulai berdakwah hingga sekarang. Semoga bermanfaat untuk teman-teman sekalian, baik mereka yang berprofesi sebagai da’i, panitia-panita kajian, atau seorang muslim/muslimah secara umum. Diantara trik-trik tersebut adalah:
BACA JUGA: Mempolitisir Kaidah
1). Jika akan mengadakan pengajian baik rutin atau tablig akbar, hendaknya ikut melibatkan masyarakat sekitar untuk masuk ke dalam kepanitiaan, walaupun mereka belum/tidak “masuk komunitas” Salafy. Terutama mereka-mereka yang memiliki pengaruh di masyarakat. Jangan sampai segala kegiatan dakwah kita monopoli sendiri karena kita merasa “yang paling pantas”, adapun selainnya, tidak.
2). Berilah mereka jabatan-jabatan di ketakmiran masjid. Kalau perlu, orang-orang yang punya pengaruh diberi jabatan yang lebih tinggi dari kita. Supaya mereka merasa terpakai dan kita butuhkan.
3). Hindari mendirikan masjid sendiri, sementara masjid masyarakat di tempat kita tinggal telah ada. Lebih baik untuk memakmurkan masjid yang ada, supaya tidak ada kesan eklusif dan ingin ‘menyendiri’. Terkecuali masjid yang ada tidak mencukupi sehingga dibutuhkan masjid baru. Itupun, hendaknya melibatkan masyarakat setempat dalam kepanitiaan dan pengurusan.
4). Hindari untuk memaksakan diri mengadakan jum’atan atau shalat Ied (hari raya) sendiri dengan jumlah jama’ah yang sedikit. Lebih baik bergabung dengan masyarakat sekitar untuk mengurangi kesan eksklusif, berusaha berbaur dengan mereka, serta mendekatkan hati-hati kita dengan mereka. Karena dua hal ini (shalat jum’at dan hari raya) bentuknya syi’ar. Sehingga sangat kelihatan ‘aneh’ jika jumlahnya sedikit.
5). Ajarkan kitab-kitab yang masyhur di sisi mereka, seperti Riyadhus Shalihih, Arba’in Nawawiyyah, Bulughul Maram, Matan Abu Syuja’, Safinatun Najah, Tafsir Jalalain, Al-Kabair, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan yang semisalnya. Hindari mengajarkan kitab-kitab ‘asing’ yang belum mereka kenal, atau kitab-kitab yang akan dipahami mereka sebagai sebuah ikon untuk komunitas yang mereka telah antipati sebelumnya.
6). Ajarkan kepada mereka ilmu yang sifatnya sederhana dan mudah dipahami. Tidak perlu mengajak mereka untuk masuk kepada khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan para ulama’ atau ilmu-ilmu yang detail dan njlimet.
7). Ajaklah masyarakat sekitar untuk bermusyawarah dalam menyusun kegiatan dalam menyambut moment-moment tertentu, seperti menyambut bulan Ramadhan, hari raya korban, panitia zakat, dan yang semisalnya. Terutama para tokoh masyarakat atau orang-orang yang duduk di jajaran pemerintahan semisal pak RT atau RW dan yang di atasnya.
8). Ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat selama bukan termasuk perkara yang diharamkan oleh syari’at. Seperti kegiatan rapat RT, kerja bakti, ronda malam, membantu tetangga yang hajatan (nikah, atau walimah), membantu ketika ada yang kematian, menjenguk orang sakit, PKK, arisan, dan yang lainnya.
9). Jika kajian berbenturan dengan kegiatan-kegiatan penting di masyarakat, maka kajian lebih baik diliburkan terlebih dahulu. Jangan ngotot untuk tetap menyelenggarakannya.
10). Hindari menggunakan istilah-istilah yang akan berpotensi fitnah atau kegaduhan di masyarakat seperti istilah bid’ah, hizbi, sesat, dan yang semisalnya. Jika harus menggunakannya, gantilah dengan ungkapan lain yang lebih nyaman, misalnya kata “bid’ah” diganti “tidak dicontohkan oleh nabi”.
BACA JUGA: Amanah dan Dakwah
11). Tidak memakai pakaian-pakaian “syuhrah” (aneh/asing/tampil beda) saat berkumpul dan bermuamalah dengan masyarakat dimana mereka tidak terbiasa dengan jenis-jenis pakaian tersebut. Memakai baju koko, atau batik, atau baju hem, dengan songkok warna hitam, menjadi pakaian yang baik untuk dikenakan ketika itu.
12). Berdakwah dengan lembut dan kasih sayang, memulai dengan perkara-perkara yang penting baru yang penting berikutnya, melonggarkan masalah-masalah furu’iyyah khilafiyyah (tidak kaku/keras). Hindari ‘menyerang’ berbagai perkara yang terjadi di masyarakat secara frontal atau ta’yin (disebut secara spesifik) walaupun perkara tersebut keliru.
13). Menjadikan suasana tempat kajian nyaman, penuh keramahan, dan keakraban. Jangan lupa sediakan teh hangat dan camilan (snack) ….he…he…(kalau ada kelonggaran dana).
Demikian sebagian perkara-perkara yang dapat kami tulis saat ini. Semoga bermanfaat untuk kita sekalian. Barakallahu fiikum. []
Facebook: AbdullahAl-Jirani