HAL-HAL terkait pengaturan negara, seperti pembentukan lembaga-lembaga negara, pembatasan masa jabatan penguasa, pembagian wilayah kekuasaan, cara memilih penguasa, dan semisalnya merupakan persoalan-persoalan yang berada di bawah payung siyasah syar’iyyah, hukum asalnya mubah selama mengandung kemaslahatan bagi umat Islam dan tidak menabrak sendi-sendi pokok agama Islam.
Yang pokok adalah bagaimana kekuasaan itu membawa kebaikan bagi umat Islam, ditegakkannya hukum-hukum Allah, dan dibangun keadilan di tengah-tengah umat. Jika terjadi penyimpangan dalam prinsip ini, umat Islam -terutama para ulamanya- wajib untuk melakukan aktivitas nahi munkar semampu yang ia bisa.
BACA JUGA: Wah, Bagaimana Hukumnya Makan Petai atau Jengkol?
Mendudukkan dua persoalan ini sama-sama sebagai pokok, akan melahirkan kejumudan. Perkara-perkara yang hanya merupakan wasilah dan teknis, saat diposisikan sebagai sesuatu yang qath’i, akan membuatnya sangat kaku, padahal kondisi zaman memerlukan tinjauan ulang atas wasilah dan teknis yang telah berlaku di masa lalu. Padahal dalam perkara-perkara seperti ini, berlaku kaidah fiqih:
لا يُنْكَرُ تغيّرُ الأحكامِ بتغيُّرِ الأزمانِ
“Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan waktu.”
BACA JUGA: Bagaimana Hukumnya Jika Membawa Pulang Peralatan Makan di Pesawat?
Sebaliknya, mendudukkan dua persoalan ini sama-sama sebagai mutaghayyirat yang selalu bisa berubah tiap zaman, akan melahirkan pemikiran liberal, yang selalu berusaha menyesuaikan Syariat dengan hawa nafsunya. Ia tak memahami mana yang tsawabit mana yang mutaghayyirat, mana yang ditetapkan nash sharih dan qath’i, mana yang ditetapkan melalui ijtihad yang kesimpulannya zhanni. Semua ia tabrak, jika bertentangan dengan hawa nafsu atau pikiran bebas tak terkontrolnya. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara