ZAWAJ al-Mubarak, seorang hamba sahaya yang telah dimerdekakan. Ia bekerja sebagai penjaga kebun delima.
Suatu hari, pemilik kebun menyuruh al-mubarak untuk memetikkan delima-delima miliknya. Ternyata semua yang telah dipetik mubarak berasa masam, belum pantas dipanen, “Apa kamu tidak bisa membedakan mana yang manis dan masam?” bentak si pemilik kebun.
“Tuan tidak pernah memberi izin kepadaku untuk mencicipi semuanya,” jawab Zawaj.
Sang tuan merasa dipermainkan dan bertambah marah, “Aneh. Kenapa kamu tidak bisa membedakan hal sekecil itu? Kamu sudah bekerja di sini selama beberapa tahun,” potongnya.
Si pemilik kebun masih merasa bahwa Al-Mubarak berbohong. Demi memuaskan rasa ingin tahunya, ia bertanya kepada orang-orang yang tinggal di sekitar kebun tentang pegawainya, mereka menjawab bahwa al-mubarak belum pernah terlihat memakan satu buah pun delima-delima di kebun tersebut.
Si pemilik kembali menemui Al-Mubarak, “Wahai al-Mubarak! Saya hanya memiliki satu anak perempuan. Dengan siapakah ia saya nikahkan?” katanya.
“Orang Yahudi hanya karena harta, orang Nasrani hanya karena kecantikan, orang Arab hanya menikahkan karena nasab, sedangkan orang Islam menikah karena ketakwaan. Termasuk yang manakah yang tuan pilih diantara semua tadi? Saya berpendapat, nikahkanlah putri tuan dengan seseorang dari golongan yang tuan termasuk di dalamnya,” jawab al-Mubarak.
“Tidak ada di dunia ini orang yang lebih bertakwa dibanding kau, wahai al-Mubarak,” jawab pemilik kebun.
Dinikahkannya al-Mubarak dengan putrinya. Dan hasil dari pernikahan ini, lahirlah Abdullah bin al-Mubarak yang biasa dikenal dengan nama Ibnul Mubarak, seorang ulama ahli hadits terkenal.[]