Table of Contents
DALAM pelaksanaan zakat, seorang amil memiliki peran yang penting. Secara umum, tugas Amil Zakat (عامل) adalah mengambil dan mendistribusikan harta zakat kepada mustahiq (penerima zakat). Ada beberapa tugas dan bagian Amil Zakat dalam pelaksanaan kerjanya tersebut.
Amil tidak sama dengan panitia zakat yang hanya dibentuk atas inisiatif (prakarsa) masyarakat atau institusi perkantoran. Mereka yang bertugas sebagai Amil adalah orang yang memiliki kompetensi terhadap tugas tersebut.
Menurut Fatwa MUI Nomor 08 Tahun 2011, Amil Zakat adalah seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan zakat; atau seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat.
BACA JUGA: Penjelasan Amil Zakat dan 5 Kriterianya
Berikut 9 pembagiannya tugas Amil Zakat tersebut:
1 Tugas dan bagian Amil Zakat: Sa’i (ساعي)
Yaitu mereka yang diberi mandat atau disuruh pemerintah atau badan organisasi yang dilantik (seperti Badan Zakat negeri) untuk mengambil zakat.
2 Katib (كاتب)
Yaitu mereka yang mencatat harta zakat yang diterima dari orang yang wajib zakat.
3 Tugas dan bagian Amil Zakat: Qasim (قاسم)
Yaitu mereka yang bertanggung jawab membagikan dan mendistribusikan harta zakat.
4 Hasyir (حاشر)
Yaitu mereka yang menghimpun (mengumpulkan) orang yang mempunyai harta zakat.
5 Tugas dan bagian Amil Zakat: ‘Arif (عاريف)
Yaitu mereka yang bertanggung jawab menetapkan mustahiq (penerima zakat).
6 Hasib (حاسب)
Yaitu mereka yang bertugas menghitung harta zakat.
BACA JUGA: Inilah 6 Keutamaan Ibadah Zakat yang Jarang Diketahui
7 Tugas dan bagian Amil Zakat: Hafidh (حافظ)
Yaitu mereka yang bertugas memelihara dan menjaga harta zakat.
8 Jundi (جندي)
Yaitu mereka yang bertugas mengawal harta zakat (pasukan pengawal harta zakat).
9 Tugas dan bagian Amil Zakat: Jabi (جابي)
Yaitu mereka yang bertugas mengambil zakat dari orang yang diwajibkan zakat (muzakki).
Setelah menjelaskan 9 bagian tersebut, Al-Banjari menyatakan “dan harus (boleh) ditambahi dari pada bilangan yang tersebut itu dengan sekira-kira hajat.” []
Referensi: Sabil Al-Muhtadin Lit-Tafaquh Fi Amriddiin/Karya: Syaikh Muhammad Arshad Al-Banjari