Oleh: M. Anwar Djaelani,
Penulis Buku “50 Pendakwah Pengubah Sejarah”
“Sebegitu lemahkah Tuhan dan agama sehingga memerlukan pembelaan dari umatnya?” Kalimat bernada gugatan ini disampaikan Sarlito Wirawan Sarwono hanya sebelas hari sebelum dia meninggal pada 14 November 2016. Benarkah Tuhan tak perlu dibela?
Siapa (Tak) Membela ?
Pada 3 November 2016 ada artikel-opini di laman selasar berjudul “Mungkinkah Menistakan Agama?” Tercantum sebagai penulisnya, Sarlito Wirawan Sarwono – Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia. Jika melihat judul dan tanggal pemuatan tulisan itu, dapat dirasakan bahwa itu ada hubungannya dengan kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 27 September 2016.
Terkait hal yang disebut terakhir itu, banyak yang tahu bahwa atas tiadanya tanda-tanda aparat penegak hukum serius dalam menyelesaikan kasus penistaan Al-Qur’an itu, maka muncullah gelombang demonstrasi dari umat Islam di berbagai daerah dan terutama di Jakarta. Lalu, apa kata Sarlito di tulisan itu?
Di paragraf awal dia menulis: “Demonstrasi dalam rangka membela Tuhan makin banyak. Hal ini membuat saya bertanya, ‘Mungkinkah membela agama?’ Pertanyaan selanjutnya, ‘Sebegitu lemahkah Tuhan dan agama sehingga memerlukan pembelaan dari umatnya?’ Pandangan saya mungkin tidak begitu populer, tetapi untuk saya, Islam dan Tuhan tidak perlu dibela.”
Selanjutnya, dia tampak membela Ahok dan menyalahkan umat Islam. Sarlito memuji ‘akhlaq’ Ahok dengan menulis: “Dia memang berkata kasar, tetapi hanya kepada orang-orang yang tidak bekerja dengan baik.” Atas pernyataan Sarlito itu, pasti banyak yang akan bertanya: Benarkah? Bukankah faktanya tidak seperti itu?
Sarlito juga mengapresiasi prestasi Ahok. Kata Sarlito, “Dia gusur Kalijodo, tuntas! Tanpa bekas dan tanpa kekerasan”. Maka, seperti di paragraf sebelumnya, atas pernyataan Sarlito ini pasti tak sedikit yang menyoal: Benarkah kenyataannya seperti itu?
“Jadi,” kata Sarlito, “Sebetulnya bukan Ahok yang menista agama Islam, tetapi pihak-pihak yang menuduh Ahok sebagai penista Islam-lah, yang sedang menista Ahok”. Maka, terutama untuk kesimpulan Sarlito tersebut, kita pantas terhenyak. Logika apa yang dipakai Sarlito jika Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Sikap Keagamaan bahwa Ahok telah menista Al-Qur’an?
Demikianlah! Lalu, masyarakat mendengar bahwa Sarlito meninggal hanya beberapa jam sebelum polisi melakukan Gelar Perkara atas kasus penistaan Al-Qur’an yang dilakukan Ahok. Gelar Perkara dilaksanakan pada 15 November 2016 dan esoknya -16 November 2016- Ahok ditetapkan sebagai tersangka.
Sekarang, benarkah Tuhan tak perlu dibela seperti kata Sarlito? Untuk itu, cermatilah ajaran ini: “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?’ Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: ‘Kamilah penolong-penolong agama Allah’.” (QS Ash-Shaff [61]: 14).
Tampak bahwa Allah perlu dibela dengan cara membela agama-Nya. Untuk bisa lebih memahami ajaran di atas, mari hayati sebuah kisah di zaman Nabi SAW dan dua kisah di negeri kita berikut ini.
Dari Ali bin Abi Thalib RA: “Bahwa ada seorang wanita Yahudi yang sering mencela dan menjelek-jelekkan Nabi Saw. Maka (oleh karena perbuatannya tersebut), wanita itu dicekik sampai mati oleh seorang laki-laki. Ternyata Rasulullah Saw menghalalkan darahnya” (HR Abu Dawud).
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS Al-Ahzab [33]: 57-58). (Catatan: Termasuk menyakiti Allah dan Rasul-Rasul-Nya, yaitu melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diridhai Allah dan tidak dibenarkan Rasul-Nya seperti kufur, mendustakan kenabian, dan sebagainya).
Selanjutnya, di Indonesia. Meski sempat berniat mundur karena ada uzur –yaitu faktor usia-, ghirah Imam Bonjol (1772-1864) kembali menyala saat dilihatnya masjid dinistakan penjajah dengan menjadikannya sebagai kandang kuda. Dia-pun lalu bergerak, turun lagi ke medan juang, membela agama.
Lantas, ini kisah lain. Pada edisi 8-11 Januari 1918, surat kabar “Djawi Hisworo” menurunkan artikel yang berisi penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw. Artikel yang ditulis Djojodikoro itu berjudul “Pertjakapan antara Martho dan Djojo”. Di dalamnya ada kalimat: “Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem AVH, minoem Opium, dan kadang soeka mengisep Opium.” Kalimat itu jelas menuduh Nabi Muhammad Saw sebagai pemabuk dan suka mengonsumsi opium.
Artikel tersebut lalu mendapat reaksi umat Islam. H.O.S Tjokroaminoto kemudian membentuk organisasi “Tentara Kanjeng Nabi Muhammad” (TKNM). Setelah dibentuk, TKNM menyeru kepada masyarakat Indonesia untuk menghadiri perkumpulan besar di Kebun Raya Surabaya, pada 6 Februari 1918. Perkumpulan ini diadakan sebagai bentuk pernyataan sikap kaum Muslim terhadap penghinaan Nabi SAW.
Berapa umat Islam dalam aksi tersebut? Diperkirakan sekitar 35.000 orang! Ini luar biasa, sebab dengan hanya bermodalkan pesan lisan dan media selebaran kertas, bisa mengumpulkan massa sebesar itu. Sekali lagi perhatikan! Di zaman yang belum ada media semisal televisi dan media sosial semacam WhatsApp (WA), facebook, atau twitter, tapi bisa menghimpun tiga puluh lima ribu orang. Hal ini jelas bisa menunjukkan tentang tingginya kesadaran umat Islam dalam membela agamanya.
Apa tuntutan mereka? Hanya satu, yaitu mendesak pemerintah Hindia Belanda dan Sunan Surakarta untuk segera mengadili Djojodikoro dan Martodarsono (pemilik surat kabar), atas kasus penistaan Nabi SAW itu.
Tolong-lah, Bela-lah!
Jadi, Tuhan memang harus kita bela dengan cara membela agama-Nya! “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad [47]: 7). []