Oleh: Fitri Amalia,
fialiamarfi@gmail.com
BUNYI mesin pengasah batu mengiringi Jalan Barito yang tak terlalu ramai. Hampir dua tahun sudah pak Fikri menjalankan usaha batunya. Dari lapak beratap seng di depan kampus itulah rupiah ia kumpulkan. Terseok seok usahanya, sebab musim akik sudah lama berakhir sementara ia belum dapat usaha pengganti.
Hari ini pak Fikri belum kedatangan satu pengunjungpun dari pagi, tapi meski sore sudah menjelang ia belum menutup lapaknya sebab Pak Dosen kampus depan janji mengasah batu sore ini. Akhirnya yang ditunggu datang juga, sedan mewah pak Dosen tampak parkir di depan lapak akiknya.
“Ini, Bang Red Raflesia, yang bagus ya ngasahnya!” ucap Pak Dosen sambil menyodorkan batunya.
“Oke, Pak siap.”
Sambil mengosok batu, Pak Fikri terus mengajak ngobrol menanyakan ini itu seputar kegiatan keseharian Pak Dosen. Lalu ucapnya.
“Beruntung ya, Pak bisa punya orang tua yang mampu menyekolahkan Bapak hingga Bapak bisa jadi dosen seperti sekarang ini.”
“Ah, tidak juga saya dapat beasiswa sejak masih SMP.”
“Wah, kalau begitu Bapak beruntung dianugerahi Allah otak yang cerdas,” jawab pak Fikri.
“Cerdas? Ah, tapi hasil tes IQ saya standar saja, Pak. Saya dapat beasiswa karena rajin saja. Habis gimana ya dulu cita-cita saya ingin jadi guru tapi orang tua tidak mampu secara ekonomi, dan Alhamdulillah Allah memberi saya lebih, bahkan kini saya malah jadi Dosen.”
“Ooh gitu toh,” jawab pak Fikri sambil menyerahkan batu akik yang selesai digosoknya.
Setelah kepergian Pak Dosen, sambil membereskan lapak akiknya Pak Fikri melamun mengingat masa mudanya. Terbayang masa sekolah yang sekedar ia lalui dengan berangkat pagi pulang siang tanpa diselingi belajar di rumah dengan sungguh-sungguh. Hik …, ternyata Allah Maha Adil ia memberi pada yang pantas diberi.
Beberapa bulan kemudian pak Fikri dapat rejeki dadakan. Ia memperoleh jatah warisan dari penjualan rumah orang tua yang akhirnya laku dijual. Mungkin lagi sadar, Pak Fikri menyisihkan sebagian uang untuk pergi umroh. Ia bahagia sekali bisa sampai di tanah haram, memandang langsung arah kiblat, tawaf bersama jamaah lain dari seluruh dunia.
Hari itu Subuh, di antara barisan yang sempit pak Fikri melakukan salat subuh terahir berjamaah di Masjidil Haram. Setelah takbiratul ihram, iftitah lalu ia mendengarkan bacaan Al-Fatihah sang imam. Kemudian aamiin dan membaca Fatihahnya sendiri setelah itu pak Fikri mulai mendengarkan bacaan surah sang Imam Masjidil Haram. Huum suarannya merdu batinnya? Surat apa ini yang dibaca ya, apa artinya? Gumam hatinya. Sementara itu terdengarlah isak dari jamaah sebelah kanan pak Fikri, ya ampun orang Arab ini menangis tersedu sedu, sementara hanya datar yang mengisi ruang hati pak Fikri, akhirnya ia juga ikut menangis. Tapi tidak seperti orang Arab sebelahnya yang menangisi firman Allah yang dibaca Sang imam. Pak Fikri menangisi kebodohannya.
“Allah, jauh-jauh saya dari Indonesia datang ke sini dengan biaya yang entah kapan bisa dapat lagi. Kesempatan entah kapan bisa kembali lagi padahal lama saya menanti, tapi saya salat seperti ini. Engga tau itu imam baca apa.”
Maka doa pak Fikri setelah salat.
“Ya Allah, ya Rahman, ya Rahim, hamba mohon ampun atas masa muda yang telah hamba buang. Hamba habiskan dalam lalai tanpa berusaha maximal menuntut ilmu. Ampun ya Allah, maaf. Semoga engkau berkenan mengampuni memaafkan dan memberi solusi.[]
Bengkulu 15 May 16