“MANG maaf ya kalau terganggu dengan anak anak kami, di sekolah ini bukan hanya anak biasa yang masuk tapi ada beberapa anak spesial,” saya menghampiri tukang servis pompa air milik sekolah yang rusak.
“Tidak apa-apa Bu, saya juga punya anak kecil kok,” tukasnya.
Tukang servis ini nampak begitu humanis. Jika ada anak anak “kepo”, nanya semua peralatan yang dia gunakan, selalu dijawabnya dengan tak lupa menebar senyuman.
“Anaknya usia berapa, Mang?” tanya saya.
“Anak pertama sudah kuliah semester satu, anak kedua masih TK, Bu,” ujarnya.
Saya terkagum kagum. Anak pertamanya kuliah di perguruan tinggi ternama di wilayah kami. Dia bilang, dia hanya lulusan SMA, maka anaknya harus sekolah lebih tinggi dan hidup sukses, katanya.
Satu lagi yang membuat saya tercengang, kepada anaknya yang kedua dia pakai metode hampir sama seperti yang kami lakukan di sekolah. Tak ada drilling untuk anak usia TK nya. Saat dia ingin anaknya pintar membaca, dia membeli berbagai macam buku cerita dan dia bacakan itu semua kepada anaknya.
Anak anaknya tidak pernah merasa terpaksa belajar. Namun, sebagai seorang bapak dia membuat suasana rumah yang ramah agar anak senang belajar. Anak pertamanya sudah membuktikan hasil kerjanya. Satu lagi, dia nggak pernah marah marahi anaknya. Dia juga enggak larang-larang dan enggak hobby suruh suruh anak untuk memenuhi keinginannya.
Itu semua wow sekali bagi saya. Dia begitu ramah anak. Dia yang seorang tukang serpis berbagai mesin yang hanya belajar otodidak. Namun, saat didik anak gaul abis, seperti yang sudah khatam tahap perkembangan.
Saya penasaran, nanya gimana mang serpis ini dibesarkan. Kata dia, bapak dan ibunya ya begitu gitu aja, gak pernah marah marah, selalu sayang, nerima dia apa adanya, mendidik dengan lembut, hanya karena masalah biaya dia hanya bisa tamat SMA.
Saya sudah duga, pola asuh yang dia terima saat kecil dulu yang membuat dia sehumanis itu. Hehehe, tampang bisa jadi garang, namun hati selembut keju.
Mang servis ini begitu menginspirasi. Sebab, tak jarang ada orangtua yang bahkan sudah tamat sekolahnya (mengenyam sekolah pascasarjana) namun didik anak lebih parah dari juru parkir perempatan rumah saya.
Anak berantem dengan saudaranya, nangis, dimarahi bahkan dimaki maki. Tak jarang tamparan dan tendangan ikut melayang di sekujur badan. Pekerjaan nya sangat manusiawi, tapi didik anak seperti didik binatang peliharaan. Hal itu sangat menyedihkan. []