Oleh: Patrianur Patria
ENTAH apa itu sebuah perintah atau permintaan. Yang jelas, setiap kata yang keluar dari mulut sang ayah, merupakan sabda bagi gadis kecil. Tiap sore, selepas asar, ia akan menunggu lelaki beraroma matahari itu di depan gang kecil di sebelah jalan besar, bersama boneka beruang kesayangan.
Biasanya sang ayah akan datang beberapa menit kemudian sambil membawa sesuatu. Entah bebuahan, sekotak ayam siap saji, ataupun sepasang pita rambut.
Kadang tak dibawa sebiji barang pun selain lelah. Dan anak yang mulai beranjak remaja itu tetap ceria menyambut. Sebagai ganti, ia akan minta digendong sampai rumah.
Dan peri kecil akan tetap minta digendong meskipun telah mendapatkan oleh-oleh.
Lelaki yang sebenarnya telah letih dari mengangkut barang-barang di pelabuhan itu akan menggendong anaknya di belakang, menyusuri gang, menyebrang jalan besar, lalu masuk lagi ke dalam gang yang berkelok-kelok. Ia akan mengikuti arah yang ditunjukkan sang biji mata, hingga sampai ke rumah kontrakan mereka yang sebenarnya berjarak sekitaran saja dari gang itu. Tepat di sebelah kali yang setiap siang mengeluarkan bau bacin.
Setelah sampai di rumah, Putri akan memakan oleh-oleh yang dibawakan sang ayah. Lelaki yang kulitnya telah melegam karena terlalu sering disengat matahari itu hanya memperhatikan sang anak makan.
“Ayah mau?” Mulutnya menggerak bertanya, tapi tidak ada suara yang keluar dari sana selain “a-a-a-u”. Lelaki tiga puluh lima tahun itu hanya menggeleng sambil tersenyum. Menelan liur yang terbit demi melihat sepotong dada ayam besar.
Setelah makan, anak gadis itu akan memijat sang ayah sampai tertidur. Kadang jika sedang iseng, dicabutnya bulu hidung ayahnya yang sudah terlelap. Lelaki yang wajahnya terlihat lebih tua dari usia sebenarnya itu akan tergeragap bangun dari tidurnya, lalu dikejarnya sang anak dan digelitiknya sampai meminta ampun.
Baginya, sang anak adalah obat, ketika hati lelah menghadapi pikuknya dunia. Apalagi setelah istrinya pergi meninggalkan mereka dengan alasan mencari kerja di kota. Entah apa yang membuainya di sana hingga perempuan itu lupa jalan menuju rumah.
***
Putri menjejalkan busa bonekanya yang menyembul keluar. Ditekannya hidung teman bermain yang catnya telah mengelupas itu. Boneka beruang berwarna cokelat terlihat kotor dan berdebu. Mata boneka itu sudah hilang sebelah dan mulutnya kotor karena Putri suka menyuapinya dengan tanah.
Gadis kecil berambut ombak mulai jenuh, ia menyandarkan kepala ke tembok rumah orang, sesekali menatap di kejauhan. Berharap sang ayah muncul sambil membawa boneka yang dijanjikannya tadi pagi.
“Nanti sore ayah bawakan teman untuk bonekamu, tunggu Ayah di depan gang, ya?” Pesan lelaki itu setelah memastikan uangnya cukup untuk membeli boneka di pasar dekat pelabuhan.
Putri mulai gusar. Apakah ayah lupa arah jalan pulang? Seperti Ibu …, hiks …. Gadis itu mulai menangis. Buru-buru dihapusnya air mata.
***
“Siapa yang membuatmu menangis? Bawa ke sini. Biar Ayah tonjok orangnya,” tanya lelaki tangguh itu sambil pura-pura memutar kepalan tangan seperti di film kartun, ketika suatu kali melihatnya meneteskan air mata.
“Putri kangen Ibu.” Sang anak menggerakkan mulut. Saat itu dilihat kepiluan di garis keras wajah ayahnya.
Oh tidak. Takkan disebut lagi wanita yang lupa jalan pulang itu, jika hanya membiaskan duka di wajah malaikat penjaga.
***
Putri menghembuskan napas dengan jemu. Memandang boneka yang ditaruh di sebelahnya sambil memeluk lutut.
Ia tidak menyadari suasana di jalan besar di sebelah gang yang mendadak riuh. Tenda biru dipasang, bangku-bangku dikeluarkan, dan bendera kuning dikibarkan.
Para tetangga kasak-kusuk sambil menyiapkan upacara kematian. Bus yang ditumpangi ayahnya menyerobot perlintasan dan ditabrak kereta. Tidak ada yang selamat. Sang ayah tergencet badan bus bersama boneka barbie yang di tangkupnya.
‘Boneka ini harus sampai pada Putri ….’ Tekadnya dikalahkan api yang menjalari tubuh.
***
“Kasihan. Siapa yang akan mengurus anaknya yang bisu-gagu itu?” Pertanyaan para tetangga sambung-menyambung seperti lebah yang berdengung.
Putri menghela napas lagi, menenggelamkan tangisnya di balik lutut.
***