GELAP langit di ufuk timur mulai tersaput semburat mentari, ayam jantan bersahut-sahutan mengabarkan dunia, janji pagi telah tiba. Muadzin dengan suara merdunya menggetarkan bumi Allah, bumi untuk manusia, satu persatu mesjid ramai didatangi jamaah. Ibu-ibu sudah bangun untuk memasak di dapur, tak lupa juga untuk membangunkan anak-anaknya untuk mandi dan segera ke sekolah.
Para pedagang sudah menyiapkan barang dagangannya menyambut pelanggan tiap hari. Pukul lima pagi, manusia mulai sibuk dengan rutinitasnya masing-masing.
Ketika manusia lainnya baru bangun dari tidurnya, tetapi tidak untuk pemuda yang masihmenyodok bola bilyard itu. Mereka masih asyik dan fokus terhadap bola yang akan dimasukkannya ke lubang. Di dalam permainan bilyard ini, tak hanya skill untuk meraup taruhan, tetapi hoki. Ya, ketika hoki menghampiri, kemenangan di tangan, pemain yang kalah menyetor uang yang ditaruhkan.
Ucok, Buyung, dan Joko saling berganti menunggu gilirannya bermain. Kini giliran Ucok menunjukkan skill kepada temannya, bola terakhir di meja, satu kartu di tangannya.
Dengan kuda-kuda yang mantap, rincian yang tak mungkin meleset, bola itu dibidiknya dengan satu mata. Sudah seperti pemain bilyard profesional di teve gaya Ucok bermain. Cetarrrrr . . target tak meleset, rincian tepat, bola terakhir anggun memasuki ke lubang meja dengan sempurna. Ucok tersenyum, Buyung dan Joko mengeluh huh. Lima puluh ribu perorangnya menyetor kepada Ucok.
Buyung meletakkan stick ke tempatnya, menyudahi permainan ini, “Lae, udah dulu ya? Udah pagi, mau buka toko dulu.”
“Iya Cok, aku juga mau ke kandang. Lihat ayam-ayamku,” sahut Joko.
Dengan senang hati Ucok menyudahi permainan ini, tentu saja senang, empat ratus ribu rupiah, ia mengantongi kemenangan dari taruhan, “Terserah Lae, bebas. Besok kita main lagi?” tanya Ucok pada ke dua temannya.
“Belum tahu Cok, lihat nanti malam lah,” jawab Buyung sambil menstater motornya.
“Iya Cok, lihat nanti malam ya? Kalau nggak ada halangan,” Joko menimpali.
Ucok mengangguk, merapatkan jaket kulit hitamnya lalu menghisap sebatang rokok yang diambil dari kantongnya. Derung suara motor Buyung tak terdengar lagi, meninggalkan Ucok sendiri. Mata merah ucok memaksanya untuk dipejamkan karena semalaman terjaga. Ia pun tertidur. Nyenyak sekali tidur Ucok, padahal hari sudah terang. Mungkin nyenyak karena kemenangan itu.
“Bang! Bangun, Bang!” seorang gadis cantik menggoncang tubuh Ucok ke sekian kalinya, lalu menoleh ke arah kakaknya, “Nggak bangun juga Bang Ucok,” katanya.
Ia pun mendekati abangnya, gadis itu kuat-kuat membangunkan Ucok di telinganya, “Bangunlah, Bang! Kami mau sekolah. Bang, Bang, Bangun!”
Ucok pun terbangun, memaksa matanya terbuka, lalu menguap. Dilihatnya kedua Adiknya sudah berseragam putih abu-abu. Kedua adiknya cantikcantik, si Kakak bernama Janny dan Adikknya Jenny. Sekeluarga nama mereka berawal dari huruf J. Si Ucok bukannlah nama sebenarnya, itu hanya nama panggilan. Nama ia sebenarnya Jonny.
Tanpa bicara apa-apa Ucok mengeluarkan dompetnya, mengambil dua lembar uang lima ribu rupiah dan membagikan kepada kedua Adiknya. Seperti biasa, kalau pagi-pagi kedua Adiknya mencari di warung, sudah pasti minta uang jajan sekolah dan ongkos pergi ke sekolah.
“Bang, kurang,” ujar Jenny
“Iya, Bang, kami mau bayar uang sekolah. Karena bentar lagi ujian” tambah Janny, wajahnya memelas.
“Haduh . . Iya-iya, abang tambah lagi, sisanya tabung ya?” Ucok mengambil lagi uang di dompet. Lima puluh ribu rupiah dua lembar, ia bagikan pada Adik-adiknya.
“Terimakasih, Bang” ucap mereka serentak sambil meraih uang yang dibagikan.
Wajah kakak-beradik itu tampak girang, senyum manis mereka terlontar pada Abangnya. Abangnya pun membalas senyum. Janny dan Jenny meminta izin pamit untuk berangkat sekolah. Dengan penuh semangat mereka bergegas meninggalkan Abangnya, tentunya semangat itu adalah semangat untuk belajar di kelas untuk mewujudkan impian keluarga mereka. Harapan terbesar bagi keluarga Ucok, terlebih Ucok sendiri, suatu hari nanti Adik-adiknya akan menjadi seorang wanita karir yang sukses. Bekerja di tempat yang layak, penuh dengan kehormatan oleh warga sekitar tempat tinggal mereka, tidak seperti dirinya, yang dipandang sebelah mata oleh warga.
Lalu Ucok pun pulang dari warung itu berjalan kaki ke rumah. Warung dan rumah ucok hanya berjarak tiga puluh meter.
Sesampai di rumah, Ibunya juga bersiap-siap untuk berangkat bekerja dengan sepeda. Ibu Ucok bekerja sebagai pembantu rumah tangga di tokeh Cina, pemilik grosir terbesar di pasar.
“Nggak kerja kau hari ini, Cok?” tanya Ibunya.
“Nggak, Mak. Libur aku hari ini.” Jawabnya datar, karena masih mengantuk.
“Udah Kau kasi uang jajan untuk Adek-adekmu? Mereka juga harus bayar uang sekolah. Mamak lagi nggak ada duit, kemarin baru bayar uang PLN, terus beli beras 50 kg untuk sebulan, sembako sekarang juga naik. Semua serba mahal, akibat BBM naik. Sementara gaji Mamak sampai sekarang belum dinaikkan sama Koh Acong,” Ibu Ucok mengeluh sebagai kepala keluarga, semenjak ditinggal mati suaminya dua puluh tahun lalu.
“Udah, Mak. Uang sekolah Adek-adek juga udah kukasi,” jawabnya lagi sambil masuk ke dalam Rumah.
“Baguslah,” kata Ibunya.Sebelum mengayuh sepeda, Ibu Ucok berpesan, “Cok, janganlah lagi kau main judi terus! Udah cukupnya gajimu itu untuk biaya sekolah Adek. Nggak usah lagi kau kayak gitu!”
“Iya Mak, Iya,” sahut Ucok dalam kamar tidak membantah.
Huh . .wanita paruh baya itu mengeluh. Ia tahu benar tabiat anak laki-lakinya yang satu ini. Tidak membantah, tetapi tak pernah mau mendengar nasihatnya. Nasihat hanya masuk telinga kanan dan berlalu ke telinga kiri. Tak ubahnya menasehati patung. Sambil berdoa di dalam hati untuk perubahan tabiat anaknya, ia mulai mengayuh sepedanya berlahan.
Pukul dua siang, Ucok masih terlelap di kasurnya. Hapenya berdering berkali-kali, tak juga membangunkannya. Deringan yang ke delapan kalinya, akhirnya membangunkan Ucok. Hape itu diraihnya, lalu memberi salam dengan berat, hallo!.
“Hallo, Cok! Maaf mengganggu liburmu,” suara laki-laki terdengar tergesa-gesa dari seberang hape.
Sambil mengucek-ngucek matanya Ucok menyahut, “Iya, Pak, nggak apa-apa. Ada apa, Pak?”
“Cok, kau datang ke kantor sekarang ya?! Karena preman-preman ini lagi-lagi mengompas. Kata mereka : untuk keamanan gedung ini lagi. Padahal seminggu yang lalu sudah aku beri. Sekarang minta lagi mereka,” pria itu menjelaskan duduk perkaranya.
Dengan tegas Ucok mengiyakan, lalu mematikan hapenya. Itulah pekerjaan Ucok, ia kepercayaan pemilik gedung yang baru di bangun di pusat pasar. Dan sekaligus kuli bangunannya.
Hanya butuh lima belas menit ia sudah sampai di kantor. Empat orang sudah menunggunya, satu orang itu adalah pemilik gedung, dan tiga orang lagi berseragam lengkap ormasnya.
“Ada apa ini, Bang? Rame-rame datang?” tanya Ucok santai dan duduk di samping tamu itu.
Tanpa basa-basi orang berseragam itu memberitahukan niatnya, “Begini, Cok. Saya sudah bilang berkali-kali tadi dengan si bos. Ketua kami hanya berpesan, untuk meminta tambahan dana keamanan gedung ini. Nggak banyak yang diminta ketua, hanya lima juta rupiah,” ujar pria berbadan gempal itu. Ia adalah ketua satuan petugas.
“Bang, kata si bos, minggu lalu orang-orang abang juga udah minta. Kenapa sekarang minta lagi?!” lalu Ucok menoleh pemilik gedung, “Bukan begitu, Pak?”
“I . .ya, i . .ya Cok, Benar. Dengan Abang-abang ini langsung saya berikan,” jawab pria pemilik gedung gemetar, wajahnya juga tampak pucat. Karena sebelum kedatangan Ucok, ia digertak dan diancam dengan tamu-tamu yang tak diundang.
“Baiklah, tak usah panjang lebar. Hanya ada dua pilihan, iya atau tidak. Mau memberi atau tidak?!” ketua satgas itu mengancam.
“Tidak!” jawab Ucok tegas.
Pria berbadan gempal itu tertawa, kumis yang melintang terangkat di atas bibirnya, lalu menatap buas Ucok, “Mulai detik ini, kau sudah berhadapan dengan maut anak muda!” ancamnya, lalu memberi kode kepada temannya untuk angkat kaki di kantor itu.
Wajah pemilik gedung cerah kembali, ia bangga dengan Ucok, “Sungguh, Kau pemuda yang berani, Cok,” katanya lagi, “lantas, bagaimana kalau tiba-tiba mereka akan melukaimu? Itu semua karena kau membelaku, Cok.”
“Aku tidak takut. Pak, Bapak sudah cukup baik denganku, sejak mengenal Bapak, aku sudah tidak menganggur lagi. Tabunganku juga sekarang sudah banyak. Jadi, itu sudah kewajaran untuk membela Bapak,” ucap Ucok.0
“Hm, ya, ya. Kalau tabunganmu sudah banyak, kenapa kau tak menikah, Cok? Kelihatannya sudah cocok.” Pria itu menggoda Ucok. Pemuda yang dianggap sudah seperti anaknya sendiri
Ucok tersenyum, “Nanti dulu Pak, tamatkan sekolah Adek-adek dulu.”
Pemilik gedung tersenyum bangga mendengar alasan Ucok, lalu mengajak ucok makan siang di rumah makan Padang , di depan seberang gedung miliknya. Ia tahu anak muda bersamanya tentu belum makan siang. Dan perut Ucok juga sudah keroncongan.
Siapa pula menolak diajak makan saat isi perut sudah meronta?
***
Hari sudah pukul dua pagi, langit gelap masih menjatuhkan airnya, sisa-sisa hujan lebat beberapa jam lalu. Daun berguguran dari tangkainya, ranting kering pun gemeretak jatuh. Kilat menyambar di langit malam, menerangi seketika jalan Ucok menuju rumahnya.
Dengan berat hati Ucok menyudahi permainan bilyard bersama temannya, Buyung dan Joko. Karena pukul sembilan pagi nanti ia harus menjadi kuli bangunan lagi. Tidak jauh dari warung tempat biasa ia bermain bilyard. Enam orang berbadan besar dan wajah beringas mencegat Ucok di jalan.
“Namamu, Ucok?!” tanya salah satu di antara pria berbadan besar.
Sedikit bingung Ucok ketika berhadapan dengan orang yang tak ia kenaldi hadapan, “Iya. Kenapa?” tanya Ucok penasaran.
Tanpa menjawab pertanyaan dari Ucok, ia mengeluarkan sebilah pisau tajam dan runcing tampak di bawah sinar kilat malam itu.
Di waktu yang bersamaan, saat Buyung dan Joko juga pulang dari warung. Buyung seperti mengingat sesuatu, hape Ucok terbawa di jaketnya. Saat itu pula mereka memutar arah jalan, menyusul Ucok yang mungkin belum sampai di rumah. Betapa terkejutnya mereka, saat melihat tubuh Ucok sudah jatuh di tanah bermandikan darah. Dilihatnya perut Ucok sudah berlubang-lubang mengeluarkan darah segar yang tak henti-hentinya.
“Cok, bangun Cok!” Buyung berteriak mencoba menyadarkan Ucok.
“Astaga, kenapa kau, Cok?!” tanya Joko pelan, sambil membaringkan kepala Ucok di pahanya.
Mata Ucok terbuka, ia berusaha mencoba menggerakkan tangannya yang gemetaran menggapai wajah Joko, namun tak kuasa, tangannya terhempas jatuh. Ia juga berusaha berucap, namun begitu sulitnya, darah sudah penuh di mulutnya. Joko tahu, Ucok ingin mengucapkan sesuatu, ia mendekatkan telinganya. “Adekku, adekkuuu . . Hahaharuss suksess Laee. . Laa Ilaaha Illaallah Muhammad Rasulullah,” ucap Ucok terakhir kali, setelah berusaha sekuat-kuatnya.
Mata Ucok terpejam, wajahnya pucat seperti kapas. Seluruh tubuhnya kaku. Hujan kembali turun dengan lebatnya, diiringi guntur yang menggelegar. Angin bertiup dengan kencang, menggoyangkan pepohonan yang tinggi. Selamat jalan Lae, kami berjanji akan menjaga adekmu. Mereka memeluk kuat-kuat sahabatnya untuk terakhir kalinya. Air mata, darah, air hujan menyatu membasahi wajah Ucok. []
Biodata Penulis
Asmara Dewo lahir pada tanggal 21 agustus 1988 di Sei Rampah. Saat ini penulis berdomisili di Medan. Selain hobi membaca dan menulis, pemuda berdarah Jawa ini juga hobi mendaki gunung. Karena baginya, dengan mendaki gunung kita bisa mencintai bumi dan seisinya. Silahkan kontak di no hapenya : 0877 9424 5488, atau e-mail : asmaradewo707@yahoo.com. Dan jangan lupa juga berteman di fesbuknya : Kemauan Yang Lurus.