TIDAKLAH sebuah perjuangan berhak mendapat ganjaran melimpah, melainkan ada ujian yang berat di dalamnya. Ujian-ujian itu merupakan sarana pembuktian, apakah seseorang bersungguh-sungguh atau hanya berpura-pura dalam hijrah dalam ketaatan.
Wanita ini bertemu hidayah saat melanjutkan pendidikan strata dua di bilangan Bogor Jawa Barat. Lahir dari keturunan Ambon, wanita ini memeluk Protestan sebagai keyakinannya. Sayangnya, bukan keyakinan yang didapat, dia justru mengalami keraguan di sepanjang hidupnya. Ragu tanpa tepi, bahkan sampai dibawa mimpi.
Ia ragu. Mengapa hidup yang dijalani hanya berkisar antara makan, beraktivitas, dan tidur. Pikirnya, jika terus menerus seperti itu, apa yang dia cari dan dapatkan dalam hidup ini?
Hidup membawa sang wanita untuk berinteraksi dengan teman-teman kampusnya. Muslim dan Muslimah. Betapa takjubnya sang wanita, dia mendapati sahabat-sahabatnya sebagai sosok yang taat beragama. Shalat lima waktu dalam sehari. “Saya saja, malas untuk ke Gereja, meski sekali dalam satu pekan,” akunya.
Di malam hari, kecamuk bingungnya makin tak terbendung. Berkali-kali bermimpi berada di dalam lorong yang dipenuhi api. Menakutkan. Mencekam. Belakangan baru dia ketahui, lorong itu bernama neraka.
Sepanjang pencarian itu, dia bertanya banyak hal kepada sahabat Muslimahnya. Tentang surga, neraka, hijab, ibadah, dan lain sebagainya. Katanya, Islam merupakan agama yang sangat sempurna, yang mengatur semua urusan, dari yang paling kecil dan sederhana hingga ke urusan yang besar dan rumit.
Hingga hidayah itu menyapa di tahun 2013, tepat di hari Jumat, 14 Juni. Dia mantap bersyahadat setelah malamnya bermimpi menemukan cahaya. Meski mendapati ketenangan dan kenyamanan batin, ujian yang dihadapi oleh wanita yang berasal dari Papua ini semakin berat. Menyakitkan. Perih.
Dua bulan sebelum bersyahadat, dia diceraikan oleh suaminya. Tiga hari setelah bersyahadat, dia disuruh pulang ke rumah orang tuanya. Keluarganya berbohong dengan mengatakan bahwa ayahnya sakit parah. Setelah pulang dengan anaknya yang berumur 6 tahun, sang ayah sehat. Gagah perkasa.
Keluarganya mengajak dialog, agar anaknya kembali ke agama semula. Namun, imannya telah menancap kuat. Tak kehabisan cara, pihak keluarga lakukan pemaksaan. Tapi, sang Muslimah tak bergeming. Imannya kokoh. Menancap.
Pada puncaknya, ia dipukuli dan diinjak-injak saat didapati tengah mendirikan shalat.
Ia bertekad kembali ke Bogor dengan sembunyi-sembunyi. Sampai di Bogor, dia kembali mendapatkan jodoh. Sayangnya tidak bertahan lama. Hanya 120 hari. Cerai dipilih karena suaminya kasar dan tidak memberikan nafkah. Malang. Ternyata, ia mengandung dan harus mengurus anaknya seorang diri.
Namun, dia tetap mengeja sabar hingga bahagia membanjiri kehidupannya. Ialah kedatangan seorang laki-laki baik hati, teman kuliahnya, yang datang melamar dan ikhlas menjadikan anak sang Muslimah sebagai anaknya juga.
“Saya ikhlas karena saya yakin sahabat terdahulu juga tidak mudah ujiannya setelah berhijrah. Saya diuji karena Allah Ta’ala sayang.” ujarnya.
Bahagianya semakin sempurna ketika seluruh keluarga mengakui kekeliruannya, meminta maaf, lalu mengajak bertemu di Bogor. Semoga Allah Ta’ala berkahi saudara kita di jalan iman, Amelian Dinisiah. []
Sumber: kisah hikmah