DARI Jatinangor, saya punya satu cerita tak terlupa. Waktu itu tahun 1998. Musim ujian akhir. Karena tak ada uang, saya tak bisa bayar SPP tepat waktu. Kakak-kakak kekurangan, dan honor menulis juga tak ada. Alhasil, saya tak bisa ikut ujian hari pertama. 3 mata kuliah, kalau tak salah.
Ketika hari kedua datang ke kampus minta kartu perizinan, dosen laki-laki rambut ikal sekretaris jurusan menarik saya ke sudut. “Kalau cuma sekadar tak punya uang untuk bayar SPP,” ujarnya, “bilang sepekan sebelumnya. Saya bisa bantu. Kamu sudah tak ikut ujian hari kemarin.”
Saya tertegun. Menelan ludah. Sang dosen sering dianggap monster oleh teman-teman sekelas.
BACA JUGA: Nasi Goreng
Tiga mata ujian yang tertinggal saya susul di pekan berikutnya. 2 mata kuliah, saya ikuti dengan lancar jaya. Satu lagi, Reading Comprhension, dilakukan di rumah dosen yang bersangkutan. Di Ujung Berung. Perumahan. Saya ketika itu sudah jatuh miskin lagi alias tak punya uang. Hanya ada uang 5000 perak di saku celana.
Memakai bis damri, saya ke rumah sang dosen. Uang tersisa 4750. Saya berhitung ongkos sampai Purwakarta, karena sehabis ujian susulan, saya berencana pulang. Sampai rumah sang dosen, ada 4 mahasiswa lain. Saya datang telat. Ada 1 teman sekelas yang juga ikut susulan, karena sakit pekan sebelumnya.
Ujian Reading Compre berubah jadi menerjemahkan 2 halaman.
“Ini tugas S2 si ibu,” bisik teman saya sekelas, yakin sekali.
Jelang ashar, ujian selesai. Saya memburu Leuwi Panjang. Ongkos tersisa 3750. Sudah maghrib. Perut lapar sangat, karena dari pagi belum makan. Sampai di Primajasa, saya tidur. Nyenyak sekali rasanya. Mungkin karena lapar. Lelah karena habis berjalan jauh.
Saya merasa sudah tidur lama sekali di bis, ketika kondektur samar terdengar berteriak, “Kopo, Kopo…”
Saya bangun sejenak. Kok baru Kopo? Bukannya sudah lama sekali bis berjalan, dan di luar pun sudah gelap. Ketika saya melihat pelang jalan tol, itu Kopo Cikampek. Bukan Kopo Bandung. Buru-buru, di antara sadar dan tidak, saya turun dari bis. Pukul 11.00 malam. Uang tinggal 200 perak. Keringat dingin membanjir.
Dari Kopo, saya jalan menuju Sadang. Saya berpikir, setelah di Sadang, dengan 200 perak, saya akan bisa pake angkot menuju rumah. Tapi sepertinya saya sudah berjalan sangat jauh, Sadang tak terlihat juga. Sangat samar dan menusuk kulit. Perut perih. Dingin, dan gelap.
BACA JUGA: Hujan Waktu Ashar
Ketika ada satu warung masih terbuka, saya menemui sepasang kakek-nenek yang sedang menghitung uang hasil jualannya. Oleh mereka, saya diberi uang 500 perak. Kebaikan yang tak pernah terlupa—satu tahun setelah itu, saya berusaha cari warung itu, tak ketemu. Dengan uang itu, saya pulang.
Sampai rumah, pukul 2 dini hari. Saya gedor-gedor pintu, tak ada yang bangun. 30 menit kemudian, Emih bangun membuka pintu. Ke dapur, saya membuka periuk, yang ada adalah nasi basi. Tak ada apa-apa lagi yang bisa dimakan. Saya makan nasi basi jam 2.30 dini hari.
Menjelang Shubuh berdebum, saya menangis diam-diam. Getir. []