SUATU hari, ketika Rasulullah ingin menjumpai Abu Hurairah, tiba-tiba sahabat itu bersejingkat menghindar dan menjauhinya. Padahal, ia tahu Rasulullah pernah menekankan pentingnya seseorang untuk menghormati tamu. Apakah gerangan yang membuat ia ngambek meninggalkan Rasul. Tapi nanti dulu, apakah ia benar-benar merasa pundung kepada Rasulullah?
Tak lama kemudian, ia muncul kembali dan mengambil posisi duduk agak menjauh sambil cengengesan. “Kenapa dengan kamu, Abu Hurairah,” tegur Nabi tanpa menunjukkan nada menghakimi. Abu Hurairah tersenyum, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawabnya terus-terang, bahwa tadi ia menjauhi Rasulullah untuk mandi junub, karena ia sedang memiliki hadats besar.
Kemudian Nabi membalasnya dengan tenang, “Tak perlu meninggalkan saya pada saat memiliki hadats besar, karena setiap mukmin itu suci dan tidak najis.”
Setiap mukmin itu suci. Dapat pula diartikan bahwa orang beriman, baik jiwanya maupun fisiknya adalah suci, atau “disucikan” oleh Allah. Tak perlu khawatir punya hadats kecil maupun hadats besar, jikapun kita mau bertemu dengan presiden atau ulama sekalipun. Memang, kadang manusia merasa dirinya kotor dan najis jika belum keramas, mengenakan pakaian rapi dan menyemprotnya dengan minyak wangi. Apalagi jika harus mengadakan rapat pertemuan yang bersinggungan dengan banyak orang. Tapi, kriteria suci dalam perhitungan Nabi lebih bermakna simbolik dan mendalam, yakni soal hati, jiwa dan keimanan seseorang.
BACA JUGA: Kebebasan dan Kerancuan Filsafat Barat
Di sisi lain, jika kita ingin berjumpa dengan guru maupun ulama, di saat kita akan menimba ilmu darinya, justru akan merasa tenang dan lapang seandainya kita memberi hadiah kepadanya, atau memberi sedekah dulu pada fakir-miskin.
Kelapangan hati dan ketenangan jiwa, akan membuat kita merasa percaya diri dalam suatu perjumpaan dan pertemuan. Demikian pula dicontohkan oleh Rasulullah saat menjenguk seorang kakek tua yang sakit, sambil membawa sebungkus kurma yang dihadiahkan kepadanya. Padahal saat itu, sang kakek tidak menyukai Nabi, serta belum mempercayai kerasulan Muhammad.
Rumor perselingkuhan
Kelapangan dan rasa percaya diri kian meredup manakala Rasulullah diterpa badai isu dan rumor yang menimpa Aisyah, sang istri yang cantik jelita. Secara kejiwaan, ia mengalami guncangan berat. Serba salah. Terlebih ketika isu dan rumor tak sedap itu semakin berhembus kencang di telinga para sahabat dan saudara-kerabatnya. Mereka menjauhi Nabi. Sebagian menatapnya sinis. Ketika sang menantu yang dipercayainya, Ali bin Abi Thalib dimintai pendapatnya, justru ia pun seakan termakan isu tersebut, seraya berujar, “Sebaiknya tak usah berlarut-larut. Masih banyak perempuan cantik di luar sana, ya Rasulullah.”
Tapi, mungkinkah seorang istri Nabi bermain serong dengan salah seorang sahabat, sebagaimana kabar yang menyebar di seluruh Kota Madinah? Bahkan, tidak kurang dari sebulan kabar tersebut menjadi trending topic yang menghebohkan, terus-menerus menjadi bahan gunjingan dari satu pintu ke pintu rumah tetangga.
Sebagian pengikut Nabi undur-diri, bahkan kepercayaan para sahabat terbelah menjadi dua kubu. Ada yang menaruh simpati, namun sebagian lain hanya senyum-senyum dikulum. Nampaknya sulit ditebak oleh Nabi sendiri, senyum bermakna apakah yang tersirat di wajah-wajah mereka, dengan mengumbar ekspresi yang tidak selazimnya.
Ada yang menghibur Nabi bahwa dalam beberapa hari toh kabar burung itu akan terbawa angin. Tapi kemudian, bukan cuma sehari dua hari, bahkan seminggu dua minggu semakin ramai menjadi cibiran dan gunjingan sengit yang semakin mengguncangkan batinnya. Selama berminggu-minggu Aisyah mengurung diri dalam rumah. Teman-teman sejawatnya bungkam dan enggan berkomentar. Nabi bahkan memulangkan sang istri ke rumah Abu Bakar orang tuanya. Meski selama berhari-hari, Abu Bakar juga mendiamkan sang anak, nyaris mempercayai isu tentang perselingkuhan itu. Mungkinkah, puteri sahabat Nabi yang dijuluki “bapak sang perawan” melakukan serong dengan Shafwan bin Mu’athal? Siapakah gerangan pemuda nekat itu?
Abu Bakar merasa kesulitan mendapatkan informasi yang akurat mengenai kabar burung itu, khususnya selama di perjalanan bersama pemuda tampan yang mendampinginya, seusai pertempuran dengan Bani Musthaliq. Konon, kalung Aisyah ketinggalan, sehingga ia kembali untuk mengambilnya. Sambil menunggu rombongan menjemputnya, ia pun tertidur di bawah pohon rindang.
Pemuda tampan yang pulang terakhir dalam iringan rombongan itu memang Shafwan bin Muathal. Ia melihat Aisyah sedang terbaring, lalu membangunkannya pelan-pelan. Shafwan sendiri merasa heran mengapa istri Nabi bisa tertinggal rombongan, sampai kemudian ia merelakan ontanya untuk ditumpangi Aisyah, sementara dia sendiri berjalan kaki menuntun onta tersebut.
Propaganda semakin gencar dilancarkan Abdullah bin Ubay bin Salul, setelah kabar itu sampai di telinganya. Dia cengar-cengir di sepanjang jalan, menghembuskan desas-desus, berikut bumbu-bumbu penyedap yang mengundang aroma dusta dan kebohongan. “Benar kan saya bilang? Itulah kelakuan istri Muhammad… dan siapa lagi laki-laki yang disukainya itu, kalau bukan Shafwan?”
Sepoi-sepoi angin berhembus kencang, hingga menyelusup masuk ke relung-relung rumah-tangga di seantero Madinah. Aroma yang dihembuskan terasa bau menyengat, dan kebencian sebagian sahabat diarahkan pada sifat-sifat kaum perempuan di seluruh dunia, hingga kepada leluhurnya yang terbuat dari tulang rusuk (Hawa). Aisyah mengucilkan diri selama berminggu-minggu. Kedua orang tuanya ikut terpengaruh berita yang kian berhembus dengan hebat.
Kehidupan rumah-tangga di seluruh negeri sedang kehilangan keseimbangan. Rumahnya seakan gersang tak terurus, bahkan tangga-tangganya seakan keropos dimakan rayap.
Limbungnya keseimbangan
Abu Bakar, sahabat karib yang paling setia itu, seakan-akan runtuh segala naluri persahabatan dan solidaritasnya. Ke sini salah ke sana salah. Orang-orang mencibir di pasar-pasar, hingga ke lingkungan masjid Nabawi. Mau berbaring untuk tidur juga serba galau, miring ke kiri salah ke kanan salah. Mungkin saja di relung hatinya menatap sinis ke muka istrinya sendiri, di keremangan malam, jangan-jangan pada setiap istri menyimpan rahasia terselubung yang pernah dilakukan di belakang para suaminya?
Bukankah makhluk yang bernama perempuan itu paling pintar menyimpan rahasia? Benarkah ia makhluk aneh jadi-jadian? Terbuat dari tulang rusuk Adam yang bengkok, dan semakin lama justru semakin melengkung tak keruan? Mengapa pula dengan Aisyah yang terus-menerus mengurung diri selama berminggu-minggu? Sekalipun kesalnya perasaan seseorang, dia toh harus keluar dan bergerak, ngomong, bukannya terus-menerus membisu seperti itu? Apakah dia akan membiarkan dirinya mati kaku di tempat tidur?
“Jadi, bagaimana, Pak? Kita jadi serba salah nih?” tanya sang istri kikuk.
“Coba tanyakan saja terus-terang, apa benar dia melakukan itu?” kata Abu Bakar kesal.
Semangat dakwah Rasulullah juga ikut menurun. Para pendengar seakan kurang konek dan sulit menemukan frekuensi yang tepat. Materi apa yang harus disampaikan di depan publik, manakala kita bicara akan dianggap mengawang-awang di angkasa, sementara problem yang nyata dan membumi tak mampu dipersoalkan. Bicara mengenai tauhid dan keesaan Tuhan dianggap abstrak tak terjangkau. Sementara, persoalan nyata di lapangan, seakan tak membuktikan kehadiran-Nya? Mengapa Dia berpangku tangan untuk para makhluk yang konon sengaja Dia ciptakan sendiri? Di mana letak tanggung jawab-Nya? Apakah benar Dia terlibat dalam penyelenggaraan semesta ini? Jika memang benar-benar Dia ada?
BACA JUGA: Kiat Menghormati Nasab Rasulullah
Berhari-hari, berminggu-minggu, bukan saja manusia biasa yang menurun kualitas imannya, bahkan wahyu pun tidak lagi turun selama sebulan itu. Sontak Muhammad merasa sangsi, seakan meragukan kapasitasnya selaku utusan Tuhan. Jangan-jangan sinyal teguran semakin menguat (seperti pada surah ad-Dhuha maupun Abasa). Atau siapa yang menyangsikan adanya pembatalan kerasulan pada diri Muhammad jika Allah mau?
Bukankah Allah tidak pilih kasih untuk mengangkat para rasulnya? Dari etnik manapun, bangsa manapun, keturunan siapapun, dan berbahasa apapun? Juga, kapan pun waktunya sang utusan mesti hadir ke muka bumi?
Lalu, bagaimana dengan misi kerasulan, berikut wahyu-wahyu yang kadung diturunkan semenjak kedatangan Jibril di Gua Hira hingga belasan tahun ini. Tapi, bukankah mudah bagi Allah untuk menghapus semua rekam-jejak itu, bahkan mudah bagi Allah untuk membolak-balik memori manusia, dan melupakan Anda dan kita semua, jika Allah mau?
Sangat mudah bagi-Nya untuk menghapus jejak pemikiran manusia dalam percaturan sejarah, dan hanya Dia yang memiliki otoritas mutlak untuk mengganti makhluk manusia selaku khalifah di buka bumi ini? Apa susahnya buat Dia Yang Maha Agung? Mengapa pula segala kemuliaan itu dapat diruntuhkan hanya gara-gara seorang wanita cantik? Tapi, bukankah salah satu dari wanita tercantik ciptaan Tuhan itu, telah bersanding sebagai istri Rasulullah. Namun demikian, mengapa dia sampai hati berbuat serong dengan laki-laki lain? Sebegitunyakah?
“Jadi, benar apa yang kamu lakukan dengan Shafwan itu, Nak?” akhirnya sang ayah bertanya terus-terang, setelah mengumpulkan sisa-sisa kebaranian dalam beberapa hari ini.
Masih dalam suasana emosional yang cukup galau, lalu Nabi pun mendatangi sang istri di rumah mertuanya, Abu Bakar. Di hadapan Aisyah dan kedua orang tuanya, beliau berkata, “Istriku, saya sudah mendengar semua desas-desus itu. Kalau kamu tidak bersalah, Allah akan melindungi dirimu. Tapi kalau kamu benar-benar melakukan itu, bertobatlah segera kepada Allah, dan jangan sampai perbuatan semacam itu diulangi kembali….”
Aisyah tak kuasa menahan air mata yang tahu-tahu sudah berlinang di pipinya yang merona. Ia mendekati sang ayah seraya membisikkan sesuatu ke telingnya, “Ayah, sampaikan padanya, bahwa saya tidak melakukan itu.”
Abu Bakar tak punya keberanian untuk menyampaikannya kepada Rasulullah, mengingat kebenaran informasi itu sudah sedemikian masif dan menyebar luas ke seantero Madinah. Lalu, wanita cantik itu membisikkan pada ibunya, namun demikian pula jawaban sang ibu, “Bagaimana Ibu harus meyakinkan Rasul bahwa kamu benar-benar tidak melakukan itu, Nak?”
Seketika itu, Aisyah makin remuk-redam menangis sesenggukan di hadapan kedua orang tuanya. Kini, ia hanya menghadapi persoalan itu sendirian, tak ada tempat bersandar. Suami sudah meninggalkannya, para sahabat dekat mencibirnya, tak mau lagi menjadi teman curhat. Hampir semuanya sudah termakan isu dan rumor yang menggemparkan itu. (Mau tes DNA belum zamannya?).
Lalu, sejauh mana beban seorang wanita sanggup menanggungnya, jika kedua orang tua saja sudah tak lagi menjadi tempat sandaran?
“Jadi, saya harus ngomong apa pada kalian semua,” katanya setengah jengkel, sambil menahan isak-tangisnya. “Kalau saya katakan tidak melakukan itu, kalian toh tidak bakal percaya. Kalaupun saya katakan bahwa rumor itu benar, kalian akan percaya begitu saja, tanpa pembuktian apapun. Lalu, untuk apa saya harus bicara? Dan apa yang harus saya katakan?” Sejenak suasana hening, lalu sambungnya lagi, “Biarlah saya sendiri yang akan menanggung beban penderitaan ini. Bagaimana pun saya harus bersabar, sekuat kesabaran bapaknya Nabi Yusuf alaihissalam.”
Para ulama mengidentikkan nama Aisyah sebagai “ummul mukminin”, bukan sekadar ibunya orang Arab atau ibunya orang Islam saja. Sementara Nabi sendiri punya keyakinan bahwa setiap manusia beriman pasti suci. Kalau toh punya kesalahan, Allah berwenang untuk mensucikan hati dan jiwanya, bahkan fisiknya sekalipun?
Lalu, apa yang mesti dikhawatirkan? Mengapa begitu maraknya kecemburuan mengganggu psikis dan jiwa manusia, hingga berkmbang menjadi hasad dan prasangka buruk, padahal belum pernah terbukti kebenarannya secara ilmiah? Bukankah sifat hasad dan dengki itu dapat menggerogoti kebaikan manusia, bagaikan api yang membakar kayu bakar?
Satu bulan kemudian
Rasulullah terdiam membisu, pelupuk matanya terpejam seraya menghela nafas dalam-dalam. Tak lama kemudian, turunlah wahyu yang disampaikan Malaikat Jibril (an-Nur: 11-20), yang membuat Nabi merasa plong dan lega hatinya. Ia segera mengabarkan perihal wahyu tersebut, yang membuat Abu Bakar bersejingkat membangunkan Aisyah di tempat pembaringannya, “Ayo, bangunlah, Nak. Allah sudah memberitahu Nabi bahwa kamu tidak bersalah.” Sang Ibu kemudian menambahkan, “Sampaikan permintaan maaf kepada Nabi, dan sampaikan pula terimakasih kepadanya.”
Dengan raut yang manja, Aisyah kemudian membalas, “Untuk apa saya berterimakasih? Biarlah saya hanya mau berterimakasih kepada Yang Membela dan Memihak saya.”
Dalam beberapa ayat di surah an-Nur (cahaya) tersebut, Allah menyatakan bahwa Aisyah suci dan tidak berbuat apa-apa dengan Shafwan. Allah mengawali wahyu tentang maraknya berita hoaks dan kabar burung selama beberapa minggu itu. “Sesungguhnya yeng mnyebarkan kabar burung itu tak lain dari golonganmu sendiri.” (an-Nur: 11). Lalu, dilanjutkan dengan beberapa ayat yang menegaskan bahaya menyebarluaskan berita bohong. Bahwa mereka yang berperan paling besar dalam kebohongan itu, baginya azab yang lebih besar. Kemudian, Allah memberi ancaman yang serius (an-Nur: 19), bahwa mereka yang menghendaki agar kebohongan itu tersebar luas di kalangan orang-orang beriman, baginya azab yang pedih, baik di dunia maupun di akhirat nanti.
BACA JUGA: Perihal Orang Takut Mati
Di sini nampak jelas, bahwa Alquran memberi vonis yang berat kepada para penyebar hoaks dan berita bohong, lalu sejauh mana kualitas keimanan dan ketakwaan kita sebagai manusia Indonesia di era medsos ini? Masihkah kita gemar menyebarluaskan berita yang belum terbukti kebenarannya. Meskipun kita hanya ikut-ikutan men-share, tapi bukankah itu adalah bagian dari andil kita dalam menyebarkan kebohongan juga. Terlebih, jika kita menghendaki agar berita bohong itu menyebar di kalangan orang-orang beriman yang memiliki otoritas publik.
Akhirnya, banyak ulama berpendapat bahwa kabar mengenai hoaks perselingkuhan Aisyah, adalah ujian Nabi Muhammad yang paling berat dalam sejarah hidupnya. Ini persoalan harga diri, guncangan psikis hingga taruhan atas kredibilitas Muhammad sebagai pembawa misi ilahiyah. Boleh dibilang, ujian ini bahkan lebih berat ketimbang kekalahan Perang Uhud maupun penderitaan yang dialami saat menghadapi kaum Thaif dulu.
Coba bayangkan, jika bukan karena turunnya wahyu sebagai wujud teguran dan peringatan Tuhan, boleh jadi Muhammad mempercayai rumor perselingkuhan yang kadung menyebar luas di seantero Madinah itu. Butuh informasi akurat yang validitasnya diakui secara ilmiah, misalnya oleh empat orang saksi yang kompeten dan kredibel. Namun, kredibilitas seseorang kadang mudah luntur manakala berhadapan dengan iming-iming segepok dollar yang disodorkan, terlebih suguhan wanita cantik gemulai nan mempesona.
Jika Nabi yang notabene “ma’sum” nyaris tenggelam oleh isu dan rumor negatif yang berhembus, maka berhati-hati dan waspadalah dengan kita sebagai umatnya, jika bukan mengandalkan pertolongan Allah Yang Maha memberi pertolongan.
Bersandarlah dan berpegang teguhlah hanya kepada-Nya. Kuatkan terus kualitas keimanan dan ketakwaan kita. Niscaya Rasulullah memberi syafa’at kepada umatnya, disertai perlindungan atas izin dan ridho Allah Subhanahu wata’ala. []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.