Oleh: Wardah Abeedah
Forum Silaturahmi Muballighoh Jawa Timur
abeedah.01@gmail.com
“Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad)
SABDA baginda Nabi di atas menunjukkan betapa kedudukan ilmu dan ulama begitu urgen bagi kaum muslimin, bahkan seluruh manusia. Peran mereka adalah menjaga umat dari kebodohan yang mengakibatkan maksiat dan kerusakan di muka bumi.
Sedangkan peran mereka di sisi penguasa, Hujjatul Islam Imam Ghazali merincinya dalam perkataan masyhurnya yang beliau tuliskan dalam kitab Ihya’-nya:
ما فسدت الرعية إلا بفساد الملوك وما فسدت الملوك إلا بفساد العلماء
“Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama.”
Perkataan di atas menunjukkan peran ulama di hadapan (di samping) umara’ (penguasa). Penguasa tanpa bimbingan dan kontrol dari para ulama akan memerintah dengan selain Islam, dan dari koridor syariat.
BACA JUGA: Ulama Pro-Prabowo Berencana Gelar Doa Bersama untuk Keselamatan Bangsa
Padahal kebaikan hanya akan diraih jika sebuah Negara berjalan di atas dien dan sistem buatan Zat Yang Maha Benar lagi Maha Sempurna. Sebagaimana sebuah kaidah syariah menyebutkan, حيثما يكون الشرع تكون المصلحة. “Di mana ada syariat, di situ ada mashlahat.”
Di sinilah peran ulama melakukan amar makruf nahi munkar, melakukan kontrol serta muhasabah terhadap umara’.
Sebagai pewaris para Nabi, ulama wajib meneruskan tugas anbiya’ di dunia. Yakni membawa kabar gembira, memberi peringatan, mengajak kepada Allah dan memberi cahaya. Allah SWT berfirman, “Wahai Nabi! Sungguh Kami mengutus engkau sebagai saksi, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan sebagai orang yang mengajak kepada Allah dengan izin-Nya, dan sebagai pelita pemberi cahaya. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang beriman, bahwa mereka akan memperoleh karunia yang besar dari Allah.” (QS Al-Ahzab [33]: 45-47)
Para ulama terdahulu (salaful ummah) juga konsisten dalam mengamalkan hal ini. Mari meniti teladan dari imamnya oara ulama, sahabat, sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib. Yang Rasul sabdakan, jika Beliau SAW adalah kotanya ilmu, maka Ali adalah pintunya. Sebagai penghulu ulama, beliau tidak segan menjalani fungsinya untuk menasihati khalifah.
Pada masa kekhilafahan Utsman bin Affan, terdapat seorang wanita yang melahirkan dalam usia kehamilan enam bulan. Kemudian wanita tersebut dibawa ke hadapan Khalifah Utsman. Mungkin karena ketidaktahuannya, Sang Khalifah memerintahkan agar perempuan tersebut dihukum rajam (hukuman bagi pelaku zina dengan dilempari batu hingga meninggal) karena dianggap telah melakukan zina.
Akan tetapi, perempuan itu menolak hukuman tersebut karena ia mengaku tidak pernah berbuat zina. Sontak saja peristiwa ini membuat heboh masyarakat Islam. Hingga akhirnya kabar tersebut sampai ke telinga Ali bin Abi Thalib. Ali menegaskan kalau usia kehamilan minimal adalah enam bulan.
BACA JUGA: KH. Ma’ruf Amin Ibaratkan Ulama RI seperti Daun Salam, Apa Maksudnya?
Ali mendasarkan pendapatnya itu dengan mengutip QS. Surat al-Ahqaf ayat 15 dan al-Baqarah ayat 233. Pada ayat pertama disebutkan bahwa masa perempuan mengandung dan menyusui bayinya adalah 30 bulan. Sementara ayat kedua hanya menjelaskan tentang waktu menyusui saja, yakni dua tahun atau 24 bulan.
Dengan demikian, Ali bin Abi Thalib membuat kesimpulan kalau usia minimal perempuan melahirkan adalah enam bulan: 30 bulan masa mengandung dan menyusui dikurangi 24 bulan masa menyusui saja. Penjelasan Ali bin Abi Thalib tersebut, membuat Khalifah Utsman bin Affan mengurungkan hukuman rajam dan membebaskan si wanita tadi dari tuduhan zina.
Bahkan pada masa Khulafaur Rasyidin sebelum khalifah Ali menjabat, ketika akan meminta keputusan, mereka senantiasa bermusyawarah dengan Ali dan mengambil pendapatnya.
Pada masa kekhilafahan Bani Umayyah, Imam Abu Hanifah pernah merasakan dinginnya jeruji besi akibat sikapnya yang tak ridha dengan kebijakan khalifah al-Manshur secara umum.
Ketika mendekam dalam penjara, ibunda beliau pernah berkata kepadanya, “Wahai Nukman, sesungguhnya ilmu bisa memberimu manfaat, bukan siksaan dan penjara. Sungguh, kamu pun bisa melepaskan diri darinya.” Beliau pun menjawab, “Ibu, andai saja putramu menginginkan dunia, tentu sudah kugapai. Tetapi, putramu ingin Allah mengetahui bahwa putramu menjaga ilmu-Nya, meskipun harus mengorbankan diri dalam kebinasaan.”
Dinginnya penjara juga pernah dirasakan Imam madzhab lainnya, Ahmad Ibnu Hanbal yang mendekam selama dua periode khalifah akibat menentang pendapat khalifah yang menyatakan bahwa Alquran adalam mahluk. Imama Nawawi, seorang ulama hadits terkemuka juga pernah diusir dari kotanya oleh penguasa Syam di masa itu akibat menetang kebijakan terkait pajak.
Sejak masa sahabat hingga masa kekhilafahan Islam tegak, para ulama senantiasa konsisten menjalani peran politik ini. Penguasa pada masa itu juga acapkali menjadikan ulama sebagai rujukan dalam membuat kebijakan. Keterkaitan ulama dengan umara’ dalam aktivitas politik adalah untuk beramar makruf nahi munkar. Menjaga agar negara ini teteap berjalan di atas koridor syariah Islam dan rihda Allah.
Jauh berbeda dengan kondisi kita saat ini, ketika ulama hanya dijadikan alat politik untuk mendulang suara. Sebelum pemilu berbondong-bondong mendekati ulama, doanya pun diburu dan diperebutkan. Namun ketika terpilih, kemudian menjauhi ulama. Fatwa mereka tak pernah dijadikan rujukan untuk mensolusi problem umat. Tsaqafah Islam yang ada dalam akal dan hati ulama tak pernah diperjuangkan untuk diterapkan dalam pemerintahan.
BACA JUGA: Juraji: Ulama yang Durhaka
Imam Al Hafidz An Nawawi menegaskan dalam kitabnya Raudhah at-Thalibin wa Umdah al-Muftin, bahwa keberadaan Imam (penguasa) bagi umat untuk menegakkan agama, menolong as-sunnah, menolong orang-orang yang didzalimi serta menempatkan hak-hak pada tempatnya. Ulama akan berada di samping penguasa untuk menjaganya agar negara berjalan sesuai fungsinya yakni menegakkan agama.
Sehingga dengan tegaknya Islam dan syariatnya oleh negara, akan menjadikan Allah mencintai, meridhai dan memberkahi nusantara serta dunia. Serta menjadikan negeri ini sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Wallahu a’lam bis shawab. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.