JAKARTA– Poligami menjadi salah satu tema besar yang diusung dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), April 2017 lalu. Banyak pihak mengidentifikasi poligami merupakan bagian dari ajaran Islam.
LBH APIK Jakarta pada 2011 mengumpulkan 107 aduan dari istri yang dipoligami. Dari aduan-aduan tersebut, terlihat beberapa dampak poligami. Tidak diberi nafkah adalah kasus terbanyak dengan jumlah 37 orang korban. Sebanyak 23 perempuan lainnya ditelantarkan atau ditinggalkan suaminya, dan 21 lainnya mendapat tekanan psikis yang menyiksa.
Sementara itu, sebanyak 11 responden mengalami pisah ranjang, 7 mendapat penganiayaan fisik, 6 diceraikan suami, dan 2 orang mendapat teror dari istri kedua.
Hasil aduan yang didapatkan LSM Rifka Annisa dari perempuan yang diselingkuhi – meski tak mesti dipoligami – ternyata menunjukkan mereka rentan mengalami tindak kekerasan. Jenis kekerasan emosional mencapai 46,1 persen, kekerasan fisik 29,4 persen, kekerasan ekonomi 5,6 persen, dan kekerasan seksual 18,9 persen.
“Islam hadir merespons realitas yang ada. Islam justru mempersempit ruang poligami, bukan sebaliknya seakan poligami adalah keunggulan,” tegas Ketua SC KUPI sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina, Bekasi, Badriyah Fayumi, Selasa, seusai konferensi pers, Selasa, di Jakarta.
Al Quran mengatur tentang poligami dari yang sebelumnya tidak terbatas kemudian dibatasi menjadi empat istri saja. “Selanjutnya karena asas keadilan maka diatur hanya cukup satu istri. Di ayat lain juga disebut bahwa manusia tidak akan bisa adil,” urainya.
Selain itu, Indonesia memiliki UU Perkawinan yang memiliki semangat dan menekankan monogami.
“Sehingga poligami tidak bisa lantas dianggap menjadi kewajaran,” katanya.
Oleh karena itu Badriyah menekankan pentingnya peran para ulama perempuan untuk memperbanyak ilmu pengetahuan tentang hak-hak perempuan seperti makna poligami, jilbab, jihad, pemimpin rumah tangga, dan peran perempuan, lalu menyebarkannya
Selain poligami, ulama perempuan juga perlu menyebarkan pemahaman terkait perlindungan hak-hak perempuan, salah satunya dalam menghadapi kekerasan seksual.
Masyarakat dan negara, ujar Badriyah, tidak boleh mengabaikan praktik kekerasan seksual. Keduanya juga jangan sampai mengabaikan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual karena bertentangan dengan nilai-nilai agama dan konstitusi Indonesia.
“Untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, anggota keluarga perlu diedukasi tentang nilai-nilai kesetaraan,” pungkasnya.[]
Sumber: Anadolu Agency Indonesia