Saat ini masjid Al-Aqsha kembali dinodai. Umat Islam yang memiliki hak penuh atas masjid tersebut tidak bisa mengakses bahkan menggunakan masjid itu untuk ibadah. Militer Israel menutup semua gerbang menuju Al-Aqsha. Hanya ada satu gerbang yang dibuka, tetapi aksesnya ketat dan dilengkapi dengan metal detektor.
Perjuangan pembebasan Palestina khususnya di Al-Aqsha tak lepas dari orang-orang yang tinggal di Um Al Fahm–kota yang terletak di sebelah utara Palestina. Selama 9 dekade, kota ini telah menunjukan keberaniannya dalam membela Palestina dan Masjid Al-Aqsha.
Um Al Fahm, Daerah Terbesar
Um Al-Fahm adalah kota terbesar di Palestina, luasnya 150.000 hektar, tetapi hanya 22.000 hektar yang tersisa sampai sekarang. Diperkirakan, 52.000 warga Palestina tinggal di sana hari ini. Kota ini memiliki populasi Palestina terbesar kedua di Wilayah Pendudukan 1948 setelah Nazaret.
Nama kota itu terkait dengan batu bara (Fahm). Kota Um Al Fahm menghasilkan batu bara yang berlimpah. Masyarakat muslim di sana menjadikannya sebagai sumber pendapatan.
Pertama kali Um Al-Fahm disebutkan dalam sejarah pada tahun 1265, ketika pemimpin Muslim terkenal Al-Zaher Baybars memberikannya kepada Pangeran Jamal Al-Din Akush Al-Nujaibi dan perbatasannya sampai ke kota Caesarea.
Um Al-Fahm terdiri dari empat gang yang terkenal: Mahamid, Mahajneh, Jabarin, dan Igbaria. Sebagian besar keluarga lokal berasal dari daerah Hebron, yaitu Beit Jibrin dan Tel Safi.
Sebuah Sejarah Revolusi
Orang-orang di Um Al-Fahm bangga dengan sejarah panjang perlawanan dan penolakan terhadap kolonialisme dan penjajahan. Kota ini terus melahirkan kaum revolusioner dalam membela Palestina.
Selama penjajahan Inggris di Palestina, orang-orang Um Al-Fahm banyak mengikuti pertempuran melawan penjajah.
Pertempuran yang paling menonjol adalah Battle of the School (30/01/1930), antara penduduk setempat dengan pasukan Inggris, dan pertempuran Ein Zaytouna, yang berlangsung pada tanggal 19 September 1938, di mana penjajah mengalami kerugian besar.
Setelah pendudukan Israel di Palestina, kota ini tetap menjadi sarang ketegangan konstan yang mengganggu pendudukan dan aparatur keamanannya, karena semangat nasional yang kuat dan penolakan rakyatnya untuk menaklukkan penjajah.
Ada banyak bentrokan antara para penjajah dan orang-orang Um Al-Fahm, terutama pada bulan Mei 1958, bentrokan pada tahun 1976, dan bentrokan Al-Ruha pada tahun 1998, setelah keputusan pendudukan untuk menyita ribuan hektar tanah dari Daerah Ruha Um Al-Fahm untuk latihan militer.
Karena perannya yang maju dan keteguhan bangsanya dan kebanggaan mereka terhadap identitas nasional Palestina, Israel selalu memandang Um Al-Fahm sebagai kota Arab yang paling ‘ekstremis’ di tahun 1948. Kota ini menjadi sasaran taktik agresif oleh beberapa orang fanatik Israel, yang bertujuan memaksa penduduk kota untuk meninggalkannya.
Taktik yang paling menonjol dilakukan oleh pemimpin gerakan Kach Rabbi Meir Kahana, yang melakukan kunjungan provokatif ke kota tersebut pada tahun 1984. Dia meminta penduduknya untuk pindah ke negara-negara Arab, dan juga dua kunjungan provokatif yang dilakukan oleh aktivis sayap kanan Baruch Marzel pada 2009 dan 2010 yang melarang Gerakan Islam.
Syekh Raed Salah dan Pendukungnya
Ketika nama Um Al-Fahm disebutkan, kita akan ingat nama Sheikh Raed Salah, Pemimpin Gerakan Islam di Wilayah Pendudukan 1948 dan walikota Um Al-Fahm selama 12 tahun. Dia mendedikasikan waktu dan usaha untuk melayani dan mempertahankan Masjid Al-Aqsha.
Peran Sheikh Salah dalam pemeliharaan Masjid Al-Aqsha dan tempat suci lainnya mulai meningkat pada tahun 1996. Saat itu dia berhasil menggagalkan banyak rencana Israel yang bertujuan untuk mengosongkan Masjid Al-Aqsa dari umat Islam.
Sheikh Salah berhasil merekonstruksi Masjid Marwani dan membuka gerbangnya. Dia merekonstruksi Masjid Al Aqsha yang lama, membersihkan halamannya, menyiapkan kamar kecil dan unit wudhu, serta mengatur kelompok penghafalan Quran di teras Masjid Al-Aqsa.
Dia juga berkontribusi dalam pembentukan Dana Anak-anak Al-Aqsa, yang bertujuan untuk mendukung proyek rekonstruksi Masjid Al-Aqsa dan menghubungkan anak-anak dengan kegiatan di Masjid Al-Aqsha.
Tahun 1948 Sheikh Salah menghidupkan kembali cinta orang-orang Palestina terhadap masjid Al Aqsha. Ia menyelenggarakan sebuah karnaval tahunan yang disebut ‘Al-Aqsa in Danger’, yang diadakan di Um Al-Fahm dan dihadiri oleh puluhan ribu orang Palestina.
Dia juga menghidupkan kembali kehadiran Muslim di Masjid Al-Aqsa, melalui March of Banner, di mana bus dari semua kota Arab di Wilayah Pendudukan 1948 ikut ambil bagian.
Sheikh Salah dan beberapa orang dari Um Al-Fahm membayar mahal untuk membela Masjid Al-Aqsha.
Pada tahun 2000, Um Al-Fahm memainkan peran penting dalam demonstrasi yang diikuti dengan penindasan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon pada saat itu di Masjid Al-Aqsa. Tiga pemuda dari Um Al-Fahm mengambil bagian penting dalam aksi itu dan ratusan lainnya terluka dalam demonstrasi tersebut. []