SEKALI waktu Khalifah Umar bin Abdul Aziz naik ke atas mimbar seraya berkata:
“Wahai sekalian manusia! Perbaikilah batinmu maka akan membaik pula zahirmu. Bekerjalah untuk akhiratmu maka akan tercukupi duniamu.”
Nasihat singkat padat penuh makna bagi mereka yang mau merenungkannya.
Umar bin Abdul Aziz bukan lah khalifah biasa, beliau ditempa sejak kecil menjadi sosok yang paham agama, bahkan disebutkan bahwa ulama di hadapan beliau layaknya seorang pelajar.
Kata-katanya penuh makna mendalam, dan kali ini ingin sekali saya membahas nasehat beliau tersebut.
BACA JUGA:Â 7 Pertanyaan untuk Umar bin Abdul Aziz
Ketika Umar bin Abdul Azis menganjurkan agar memperbaiki batin, sesungguhnya beliau mengingatkan kita betapa yang Allah pandang adalah hati kita. Sebagaimana sebuah hadis sahih menyebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu akan tetapi melihat hatimu”.
Memperbaiki batin berarti memintal ulang benang-benang niat dari sumbernya. Memperbaiki awal tujuan yang direncanakan oleh hati agar jangan ternodai ketidakikhlasan. Apalagi sampai dihinggapi jamur ujub, riya dan ingin dipuji manusia.
Setiap niat yang baik bila bersumber dari hati yang ikhlas akan memunculkan gambaran kebaikan di dalam segala bentuk sikap dan perbuatan. Hati yang jujur, apa adanya, bukan ada apa-apanya, akan menampilkan sikap yang jujur pula, jauh dari kepura-puraan dan kemunafikan. Hati yang baik akan selalu menolong sesama bukan mencelakakannya.
Hati yang lembut akan membawa keindahan sikap di hadapan manusia. Di dalam sebuah hadis sahih diriwayatkan bahwa baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,” Tidaklah kelembutan pada sesuatu kecuali akan membuatnya lebih indah, dan tidak lah kekerasan itu bila diletakkan pada sesuatu kecuali akan menghancurkannya”.
Semua berasal dari dalam hati dan jiwamu, maka perbaikilah hal itu terlebih dahulu.
Lalu Umar bin Abdul Aziz pun berpesan kepada umat agar bekerja untuk akhirat, maka akan dicukupkan kebutuhan dunia nya. Apakah nasehat ini menganjurkan kita agar bekerja di bidang urusan akhirat saja? Atau bahkan kebih ekstrim lagi agar kita meninggalkan pekerjaan duniawi kita seraya berharap dengan ibadah maka terpenuhi segala kebutuhan hidup?
Ternyata nasehat yang kedua tak dapat dipisahkan dari yang pertama. Ketika bekerja merupakan bentuk ibadah, maka bekerjalah atas nama akhirat.
Selayaknya sebuah ibadah, maka bekerja untuk akhirat adalah pekerjaan sehari-hari yang dimulai dengan niat karena Allah. Mengerjakan sesuatu yang merupakan bidang keahliannya, karena di dalam sebuah hadis disebutkan apabila suatu pekerjaan diberikan kepada yang bukan ahkinya, maka tunggu lah (kerusakannya).
Melakukan pekerjaan yang membawa kita ke surga, bukan ke neraka. Pekerjaan yang halal yang memberi manfaat kepada manusia lainnya. Pekerjaan yang dilakukan dengan penuh kejujuran, penuh tanggungjawab, karena sadar bahwa perhitungan akhirat amat berat. Bukan pekerjaan yang membodohi manusia, menipu mereka, dan merusak apa yang Allah perintahkan untuk dijaga.
BACA JUGA:Â Â Mendengar Ayat Tentang Azab, Khalifah Umar bin Abdul Aziz Menangis
Bekerja untuk akhirat adalah bekerja demi mendapatkan akhirat, mendapatkan kebahagiaan akhirat, mendapat ampunan di akhirat, mendapat kemudahan di akhirat, mendapatkan Tuhan Yang Ridho di akhirat.
Bukan bekerja hanya untuk mendapatkan nikmat dunia, yang berorientasi untuk menghalalkan segala cara, meski melanggar banyak aturan-aturan Nya…
Sungguh indah kedua nasihatnya, sungguh mendalam pembahasannya, sungguh luas pemahamannya. []