SEBAIK-baik istana adalah yang mendekatkan pemimpin kepada rakyatnya. Seburuk-suburuknya, ialah yang menjauhkan antar mereka. Sa’ad ibn Abi Waqqash yang mulia diangkat menjadi gubernur Kufah. Sang penakluk persia memimpin wilayah berwargakan orang yang mendendamnya. Hari-hari sang Gubernur dibisingkan derau kebenggalan rakyatnya. Mereka sukar dipuaskan, tak henti membuat onar. Sa’ad tak tahan. Maka didirikanlah kompleks kantor Gubernur Kufah; berbenteng tinggi dan dijaga ketat. Sa’d tak ingin tugas administratifnya terganggu.
Lelaki shalih dan bertakwa yang mustajab doanya itu, kini lebih tenang mengatur jalannya pemerintahan Kufah dari balik kantor megahnya. Tetapi di luar sana, ummat kian gelisah. Dan keresahan khalayak itu dirasakan sang pemimpin agung yang merakyat: Umar, Amirul Mukminin.
Suatu hari diterbitkannya dua surat pemerintah Khalifah. Yang satu untuk Sa’d; satu lagi yang di utus mengantar: Abu Musa Al-Asy’ari. Abu Musa yang membaca surat untuknya di tengah perjalanan Madinah-Kufah ternganga. Bunyinya: Robohkan benteng Sa’d, bakar istananya! Tetapi itu tugas, Abu Musa melaksanakannya dengan memberi penjelasan kepada rakyat yang bersorak sorai sementara Sa’d tertunduk taat. Surat perintah Umar diberikan kepada Sa’d yang menerimanya penuh takzim. Bunyinya: Dengarkan rakyatmu, betapapun tak sukanya engkau!
Apakah provinsi Kufah dan super state Madinah di bawah Umar ketika itu miskin sehingga Istana Sa’d dianggap melukai rakyatnya?
Jawabannya: tidak, justru di bawah kaki Panglima Sa’d, Persia baru saja jatuh dan mempersembahkan bertumpuk kekayaan bagi kaum Muslimin. Ibnu Katsir mencatat, saat Kisra lari, uang tunia pribadi yang tak sempat terbawa mencapai 3.000.000.000.000. dinar (1 dinar= Rp. 2,16 juta per Juli 2012). Ada mahkota yang disangga tiga rantai; tahta dan kursi-kursi menteri yang terbuat dari emas bertabur permata, aneka perhiasan, dan permadani. Semua kekayaan dengan jumlah tak terbayangkan oleh kaum Muslimin itu membanjiri Madinah, dan dibagi dengan adil oleh Umar yang berlinang.
Dalam keadaan negara semakmur itu, sebenarnyaIstana Sa’d— apalagi Sa’d berjasa besar dalam memakmurkan negara— sungguhlah wajar saja. Tetapa Umar ingin menunjukkan dan dia memberi teladan; kinerja tak tergantung fasilitas. Apalagi jika fasilitas itu menghalangi kedekatan . mendengarkan orang yang dipimpin adalah asas utama kepemimpinan Islam. Itu yang hendak ditegakkan Umar dengan membakar Istana Sa’d. Bagi Umar: kedekatan dengan rakyat bisa terlukai oleh hal-hal yang dianggap kecil oleh para pejabat. Bahkan atas nama kinerja. Apatah lagi jika semata gaya hidup. Kata Ali, “Bermewahnya wirausahawan masih mungkin menginspirasi bermewahnya pejabat pasti melukai.”
Maafkan, ya Shalihin-Shalihat; ini tadi hanya untuk mengingatkan diri atas amanah-amanah yang telah dan mungkin kelask teremban. Ini bukan untuk anggota dewan. Tiada yang lebih tertuntut mengambil pelajaran selain mericaukan serta Shalihin-Shalihat semua bila berkenan.
Jadi, mari lakukan saja yang bisa sejauh mungkin. Mari, dekatkan diri dan dengarkan yang kita pimpin: istri, anak, pembantu, karyawan. Soal yang tak terjangkau, mari berdoa dan bernyanyi. “Contoh gemilang dari masa dahulu, kami menyimak dengan penuh rindu. Akankah pada zaman ini, berulang jadi teladan.” Jika bukan zaman ini, moga kita bisa menjawabnya di zaman nanti. []
Sumber: Menyimak Kicaau Merajut Makna/Salim A. Fillah/Pro-U Media