Oleh: KH Achmad Satori Ismail
IBNU al-Lutbiyyah ditugaskan Rasulullah SAW untuk mengumpulkan pajak dari Bani Suleim. Saat melapor kepada Beliau SAW, al-Lutbiyyah memilah harta yang dibawanya menjadi dua, seraya berkata, “Bagian ini untuk engkau (baitulmal) dan bagian ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku.”
Menyaksikan hal ini, tersirat kemarahan di wajah Beliau, lalu berkata, “Jika kamu duduk di rumah ibu-bapakmu, apakah kamu akan mendapatkan hadiah-hadiah itu?”
BACA JUGA: Wanita Tua dari Bani Najjar yang Menolak Harta Pemberian Abu Bakar
Kemudian, Rasulullah SAW berdiri berkhotbah, “Amma ba’du, Sesungguhnya aku telah menugaskan seorang dari kamu suatu pekerjaan yang dibebankan Allah kepadaku, kemudian datang dan berkata, ‘Ini bagian untukmu dan ini adalah hadiah yang khusus untukku. Apakah dia akan dapatkan hadiah-hadiah itu jikalau duduk di rumah ibu-bapaknya? Demi Allah, jika salah seorang dari kamu mengambil yang bukan haknya, akan dibebani Allah dengan harta itu pada hari kiamat.” (HR Al Bukhari) (Lihat dalam Fathul Bari, Juz III, hal 285). Ibnu al-Lutbiyyah tidak mengambil hadiah itu dan memberikannya ke baitulmal.
Pada masa Umar Bin Khattab, penerapan sistem ini amat tegas terhadap semua gubernur yang berkuasa. Umar membagi harta mereka yang didapatkan lewat bisnis dan lainnya menjadi dua bagian, sebagian untuk mereka dan sebagian lainnya untuk baitulmal.
Pada saat itu, para gubernur terdiri atas para pembesar sahabat, seperti Abu Hurairah, Amr ibnu al Ash, Abdullah bin Abbas, Sa’d bin Abi Waqqash, dan ‘Utbah bin Abi Sufyan.
Alasan Umar membagi harta kekayaan mereka menjadi dua karena adanya syubhat pada sebagian harta kekayaan mereka.
Ada kemungkinan harta tersebut didapatkan melalui kekuasaan, jabatan, dan wibawa mereka sebagai penguasa saat mereka bisnis.
Islam sebagai agama yang menganut prinsip keseimbangan, keadilan, keluwesan, dan keluasan membolehkan umatnya memiliki harta yang dihasilkan sesuai dengan prinsip syariah.
Akan tetapi, kepemilikan harta secara pribadi ini, tidak bebas tanpa batas, seperti dalam sistem ekonomi liberal dan tidak dilarang, seperti dalam sistem sosialis. Kepemilikan itu dibatasi sesuai dengan prinsip keadilan yang penuh toleransi.
Di antara ketentuan itu, pertama, adanya pembatasan penumpukan kekayaan kepada orang-orang tertentu. Allah berfirman, “…Supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu… (QS al-Hasyr [59] :7).
Kedua, mengharamkan sebagian harta. Harta yang boleh dimiliki dan dinikmati hanyalah harta yang didapat secara baik, halal, dan sesuai dengan ketentuan syariat.
BACA JUGA: Semua Harta yang Kita Miliki Pasti Dihisab
Ada beberapa harta yang diharamkan karena didapat dengan cara zalim dan tidak sesuai prinsip keadilan distribusi harta seperti, (a) harta yang diperoleh dari riba. Islam mengancam pemakan riba dengan siksaan amat pedih. (Lihat an-Nisaa’[4]: 160-161, al-Baqarah [2]: 275-280). (b) Harta yang diperoleh dengan cara monopoli dan penipuan dan (c) harta hasil eksploitasi jabatan dan kedudukan.
Negara boleh menyita harta para pejabat yang didapat dengan menggunakan kedudukan dan jabatannya, lalu memasukkannya pada daftar kekayaan negara.
Jika secara logika seorang pejabat memiliki kakayaan yang tidak sesuai antara penghasilan resmi bahkan nilai tabungannya berjumlah miliaran, dia perlu diperiksa yang berwajib.
Umar menyita harta pejabat yang didapat dengan cara mengeksploitasi jabatan dan kedudukannya. Lalu, harta itu diberikannya kepada baitulmal atau kas negara. Apa yang dilakukan Umar itu perlu diteladani dan ditegakkan di negeri ini secara adil. []
SUMBER: IKADI