KETIKA menjabat sebagai khalifah, ‘Umar bin Khaththab sangat sadar bahwa segala perilakunya berada dalam pengawasan Allah dan tentunya rakyatnya. ‘Umar pun menyadari bahwa ketika ia menasehati rakyatnya agar berlaku zuhud, maka wajib baginya untuk berzuhud terlebih dahulu.
Ketika penaklukan dan harta rampasan telah banyak dicapai umat Islam, hal itu sama sekali tidak mengubah gaya hidup ‘Umar bin Khaththab. Ia tetap memilih hidup dengan kesederhanaan dan jauh dari kemewahan. Prinsip bahwa dunia adalah fana telah mendarah daging baginya, bahkan ketika rakyat memberinya hak untuk hidup dalam kemewahan sekali pun.
BACA JUGA: Umar Tegaskan bahwa Aib Seseorang Itu Wajib Ditutupi
Ketika harta rampasan tiba di Madinah, ‘Umar mengambil bagian sebagaimana bagian kaum muslimin lainnya. Ia tidak merasa memiliki hak istimewa sebagai khalifah, sehingga ia mendapatkan hak lebih banyak dibanding kaum muslimin lainnya. Bahkan, ‘Umar tidak mengambil gaji dari Baitul Maal kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa.
Suatu ketika, ‘Umar meminta izin kepada rakyatnya untuk mengambil madu yang tersisa di Baitul Maal. Saat itu ia berada di atas mimbar lalu berkata, “Jika kalian mengizinkan, madu itu menjadi hakku. Namun, jika kalian melarang, haram bagiku untuk mengambilnya.”
Lantas rakyat pun mengizinkannya dengan sedikit keheranan.
Sesaat kemudian, beberapa orang mendatangi putri ‘Umar, Hafshah. Kepada putri Amirul Mukminin itu mereka berkata, ‘Wahai Hafshah, ‘Umar tetap begitu ketat terhadap dirinya. Allah telah melimpahkan rezeki dari hasil rampasan perang, hendaklah ia menikmati sesukanya, kami telah memberinya keleluasaan.
BACA JUGA: Ketika Umar Minta Dicambuk
Kemudian keinginan rakyat agar ‘Umar menikmati harta rampasan sesuka hatinya disampaikan oleh Hafshah kepada ayahnya. ‘Umar menanggapinya dengan sedikit marah, “Hafshah, engkau menipu ayahmu. Sungguh, keluargaku hanya berhak atas diri dan hartaku, tidak ada hak atas agama dan kepercayaan yang diberikan padaku.” []
Sumber: DR. Ahmad Hatta MA., dkk. Januari 2015. The Golden Story of ‘Umar bin Khaththab. Jakarta Timur: Maghfirah Pustaka.